Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, mengatakan uji materi atau judicial review soal masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK), jangan sampai mengakali konstitusi Indonesia.
"Jangan mengacaukan judicial review terhadap undang-undang, mengutak-atik atau mengakali konstitusi. Kalau judical review itu harus ada ukurannya, apa ukurannya? Ya konstitusi. Jadi judicial review itu harus mengacu kepada konsitusinya," ucap Djayadi dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Freedom Institute, di Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Advertisement
Dia meyakini, Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan, itu sudah jelas.
Selain itu, lanjut Djayadi, anggapan Wapres adalah hanya pembantu, itu pemikiran yang sah. Namun dalam UUD 1945, sudah sangat jelas disebutkan ada Wapres. Jadi sudah bagian dari konstitusi kita.
"Jadi bukan konstitusinya diakal-akali, tapi undang-undangnya dicek. Apakah sesuai dengan konstitusi atau tidak," jelas Djayadi.
Sementara itu di tempat yang sama, Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Bivitri Susanti, menyebut apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 169 huruf n, hanya mengambil yang tertuang dalam konsitusinya, yaitu UUD 1945.
"Pasal 169 itu sebenarnya copy paste saja dengan konstitusi kita. Jadi kalau misalnya mau diuji, apakah (sebenarnya) konstitusi kita yang sebenarnya mau diuji?," ungkap Bvitri.
Karena itu, masih kata dia, jelas ini bukan wewenang MK dalam menguji konstitusi.
"Itu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi. Saya kira jangan dikacaukan," dia memungkasi.
Saksikan video pilihan di bawah ini: