Mantan Menkeu Fuad Bawazier Usul Ambil Alih Freeport Usai Kontrak Berakhir

Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier angkat bicara soal kesepakatan awal divestasi Freeport dengan pemerintah Indonesia.

oleh Merdeka.com diperbarui 26 Jul 2018, 18:21 WIB
Mantan Menkeu Fuad Bawazier (Foto: Merdeka.com/Wilfridus S)

Liputan6.com, Jakarta - PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan Freeport McMoran Inc telah meneken pokok-pokok kesepakatan awal divestasi atau Head of Agreement (HoA) saham PT Freeport Indonesia (PTFI).

Dalam kesepakatan ini, Inalum akan menguasai 41,64 persen PT Freeport Indonesia. Langkah ini untuk menggenapi 51 persen kepemilikan saham oleh pihak nasional.

Pasca penandatangan HoA tersebut, muncul berbagai tanggapan. Termasuk dari Mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya menunggu sampai 2021 agar bisa menguasai tambang secara keseluruhan tanpa Freeport. 

"Sudah tahu 2021 mau habis. Kok kita mau beli barang sendiri. Aneh. Tidak akan ada satu pihak pun yang akan beli saham Freeport, karena takut, kalau nanti tidak diperpanjang (pada 2021), dia beli kertas sampah," ujar dia saat ditemui di sela-selaacara diskusi, di Kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis (26/7/2018).

"Jadi yang bisa dan menentukan nasibnya itu Indonesia. Kok kita yang punya kuasa. Kok malah mau membeli barang sendiri sampai USD 3,85 miliar. Kita diamkan saja tunggu sampai 2021. Kita lihat kalau enggak dia kelonjotan," lanjut Fuad.

Dia pun mengatakan tak masalah jika nantinya Freeport membawa ke jalur arbitrase bila kontraknya akan habis dan Indonesia diharuskan membayar nilai buku Freeport sebesar USD 6 miliar. Namun sebagai gantinya Indonesia dapat memiliki Freeport seutuhnya, bukan hanya 51 persen.

"Tapi USD 6 miliar itu sudah 100 persen kita punya. Peralatan lengkap. Tentu harus dirundingkan, benar apa tidak kita bayar USD 6 miliar, harus dirundingkan kan baru angka sepihak," ujar dia.

"Siapa yang harus bayar? Pemerintah. Atau kita bisa datangkan pihak lain, investor yang dia mau. Kita bisa jual kamu mau enggak dapat 49 persen, kalau Pemerintah maunya 51 persen. Mungkin orang lain mau mengganti yang itu," ujar dia.

Lagi pula, menurut Fuad, proses arbitrase memerlukan proses yang panjang dan akan membuat rugi Freeport. "Freeport selain sahamnya akan hancur dia akan berbagai kesulitan. Kita ya diamkan aja dulu. Jadi enggak usah ada kepanikan, kenapa kita mesti harus bayar ada mitos juga bahwa Papua (bisa) mati tanpa Freeport," kata Fuad.

"Jalanin saja arbitrase. Kalau kalah kita bayar itu USD 6 miliar asetnya dia. Di arbitrase juga kita bisa angkat isu soal pajak, lingkungan. Lingkungan itu yang kelihatan secara internasional. Jadi bermasalah tidak wajar ini (Freeport) melanjutkan (operasi)," tutur Fuad.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 


Ini Tahapan Agar Kesepakatan Awal Divestasi Saham Freeport Bisa Berjalan

CEO PT Freeport Richard Adkerson dan Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin disaksikan Menkeu, Menteri ESDM, Menteri BUMN dan Menteri LHK menandatangani pengambilalihan saham 51% PT Freeport Indonesia di Jakarta, Kamis (12/7). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum menyatakan, ada beberapa tahapan yang harus diselesaikan agar perjanjian kesepakatan atau Head of Agreement (HoA) antara pemerintah dengan Freeport McMoran dan Rio Tinto terkait divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) kepada Inalum mencapai titik final.

Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin atau yang akrab disapa BGS menyampaikan, ada dua kondisi yang harus dipenuhi sebelum HoA tersebut dapat dikatakan selesai.

"Pertama, detail agreement Inalum dengan Rio Tinto dan Freeport. Ini agreement-nya harus terjadi, sekitar 5–6 agreement. Kita juga harus selesaikan masuknya Pemkab dan Pemda, itu harus ada agreement juga," jelasnya saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin 23 Juli 2018.

Jika proses itu rampung, lanjutnya, maka tahapan awal bisa dikatakan selesai. Namun begitu, ia juga mencermati, masih ada tahapan selanjutnya yang harus dilalui lantaran kondisi divestasi saham ini tidak dapat berjalan sendiri.

"Ini harus dibarengi dengan isu lain, semisal kebijakan perubahan status perusahaan pertambangan dari Kontrak Karya (KK) jadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Lalu ada peraturan jaminan investasi, smelter juga harus selesai, lalu masalah lingkungan," paparnya.

"Divestasi ini baru bisa selesai kalau empat itu juga harus selesai," BGS menambahkan.

Lebih lanjut, dia pun menekankan, keempat kesepakatan yang antara lain penyelesaian KK jadi IUPK, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama 5 tahun, stabilitas investasi, dan juga isu soal lingkungan tersebut harus benar-benar terselesaikan.

"Kita harus menyelesaikan satu set agreement ini. Sebanyak empat hal ini selesainya harus barengan," pungkas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya