Demokrat: Kasus 'Kudatuli' Seharusnya Dituntaskan Zaman Megawati

Menurut Demokrat, ada beberapa momentum penyelesaian kasus 'Kuda Tuli' yang dilewatkan.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Jul 2018, 11:33 WIB
Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri memberi sambutan saat dialog di gedung BPPT, Jakarta, Rabu (9/5). Dalam sambutannya, Megawati menyampaikan rasa syukurnya atas kesembuhan Habibie dan telah kembali ke Tanah Air. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto meminta Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersaksi dalam kasus 'Kudatuli' di tahun 1996. Kasus itu merupakan peristiwa pendudukan Kantor PDIP Kubu Megawati di Menteng oleh massa kubu Suryadi yang dikenal sebagai 'Kudeta Dua Puluh Tujuh Juli'.

Wasekjen Partai Demokrat Rahclan Nashidik pun menanggapinya. Ia menilai, upaya PDIP yang melapor kasus Kudatuli ke Komnas HAM sebagai upaya kesiangan.

"Laporan itu adalah upaya politik yang sudah kesiangan. Tapi memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak Pak SBY mengalahkan Ibu Megawati dalam Pemilu 2004," kata Rachlan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/7/2018).

Menurutnya penyelesaian kasus 'Kudatuli' seharusnya dilakukan ketika Megawati masih menjabat sebagai Presiden kelima. Pada saat itu, kata Rachlan, Mega seharusnya bisa menggunakan otoritasnya untuk menuntaskan masalah tersebut.

"Ia bisa menggunakan pengaruhnya untuk membuka jalan bagi investigasi, seperti kuat didesak masyarakat. Sayang, Mega memilih diam. Bahkan mengangkat Pak Sutiyoso, Pangdam Jaya saat kejadian, menjadi Gubernur DKI," ungkapnya.

"Pada 2004 Presiden Megawati malah menghalangi penyidikan Tim Koneksitas Polri atas kasus 27 Juli dengan alasan pemilu sudah dekat. Tak ada nama SBY dalam daftar orang yang disangka oleh Tim koneksitas Polri," lanjutnya.

 


Tak Dukung Rekonsiliasi

Ia melanjutkan, PDI-P juga tidak mendukung adanya penuntasan kasus tersebut melalui upaya pembentukan rekonsiliasi. Partai berlambang Banteng beromoncong putih itu paling keras menolak pembentukan tim tersebut.

"Sebagai Ketua Umum PDIP, Mega tidak memerintahkan fraksinya menyetujui inisiatif itu. Padahal bila Komisi terbentuk, Megawati mendapat alat yang kuat untuk mengungkap 27 Juli," ucapnya.

Rachlan meminta khalayak menilai sendiri maksud dari pelaporan tersebut. "Jadi nilai sendiri saja apa maksud laporan Hasto ke Komnas HAM itu sekarang, 22 tahun sejak para korban 27 Juli ditinggalkan Megawati," tandasnya.

 

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya