Pakai Energi Baru Terbarukan, RI Mampu Penuhi Kebutuhan Domestik

RI perlu penguasaan teknologi yang mapan untuk optimalkan energi terbarukan sehingga penuhi kebutuhan dalam negeri.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 28 Jul 2018, 12:45 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Sulawesi Selatan (Foto:Liputan6.com/Maulandy R)

Liputan6.com, Jakarta - Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan penentu tercapainya kedaulatan energi di Indonesia. Sektor energi turut menjadi prioritas pemerintah, yang terdapat dalam janji politik Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikenal dengan nawacita.

Kedaulatan energi menjadi keharusan, sebab pemenuhan energi dari dalam negeri akan kurangi ketergantungan terhadap energi fosil terutama berasal dari minyak dan batu bara.

Dengan memanfaatkan energi terbarukan yang berasal dari air, mikro hidro, angin, tenaga surya, gelombang laut dan panas, Indonesia mampu penuhi kebutuhan energinya dari dalam negeri.

Sekjren Projo, Handoko menuturkan, paradigm pengelolaan energi nasional harus berubah dari energi sebagai komoditas ke energi sebagai penggerak roda ekonomi.

"Melimpahnya sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia selayaknya bisa dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kendala besar pengembangan energi baru terbarukan kita, adalah mahalnya teknologi yang banyak kita impor dari luar negeri," ujar dia seperti ditulis, Sabtu (28/7/2018).

Oleh karena itu, penguasaan teknologi juga harus dapat prioritas sehingga tidak lagi tergantung pada teknologi luar negeri. Dari sisi energi primer, saat ini lebih dari 70 persen pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batu bara.

Melimpahnya batu bara dalam negeri membuat PLTU batu bara menjadi kontribusi terbesar dalam konfigurasi pembangkit di Indonesia. Dalam jangka pendek PLTU batu bara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga.

Akan tetapi, keberadaan batu bara dan minyak bumi semakin berkurang dan habis pada akhirnya. Volatilitas harga minyak dunia sangat dinamis dan selalu berkaitan dengan harga komoditas batu bara akan turut kerek harga jual listrik.

"Bayangkan saja bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai USD 100 per barel misalnya pasti biaya produksi listrik akan meningkat tajam,” ujar dia.

 


Sungai di Indonesia Punya Potensi Besar

Suasana Waduk Jatigede yang digunakan untuk proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sumedang, Jawa Barat, Kamis (6/4/2017). Diperkirakan PLTA ini sudah dapat beroperasi pada 2019. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Beda kondisinya apabila Indonesia mengandalkan penggunaan listrik yang pembangkitnya digerakkan oleh tenaga angin, air, atau juga tenaga matahari dan panas bumi.

Handoko yang juga praktisi bisnis pembangkit listrik menuturkan, Indonesia sudah cukup lama menguasai teknologi untuk pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga  minihidro). Juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/ Geothermal.

"Sungai-sungai di Indonesia menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 GW,” kata dia.

Begitu juga posisi Indonesia  yang berada di area ring of fire Asia Pasifik, yang menjadi tempat bertemunya sejumlah gunung berapi yang masih aktif di wilayah Asia Pasifik, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi geothermal terbesar ke-2 di dunia setelah Amerika Serikat, dengan potensi lebih dari 28 GW. Namun pemanfaatannya masih sangat kecil.

"Untuk harga jual listrik, PLTU batu bara memang paling murah. Saat ini PLN bisa membeli dengan harga USD 5 cent/kWh dari Independent Power Producer (IPP) tetapi harga batu bara fluktuatif, dan juga tidak ramah lingkungan," kata dia.

Ia menambahkan, pembangunan PLTA harganya mahal, antara lain karena porsi pekerjaan sipil (civil work) yang besar, seperti pengerjaan bendungan dan penstock (pipa pesat) serta lokasinya yang sulit diakses.

"Tetapi energi primernya bisa diperoleh dengan gratis dan bisa dibangun beberapa pembangkit dalam satu aliran sungai dalam jarak yang berdekatan (cascade/ berjenjang) dengan memanfaatkan perbedaan elevasi," kata Handoko.

Selama ini, banyak masalah yang harus dihadapi para investor untuk membangun pembangkit listrik, mulai dari pengurusan perizinan, pembebasan lahan, atau juga isu sosial yang melibatkan masyarakat sekitar, karena lokasi pemukimannya akan dijadikan bangunan pembangkit.

Pemerintahan Jokowi – JK telah membuat berbagai terobosan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, mulai pemangkasan birokrasi perizinan hingga kebijakan-kebijakan yang mempermudah investasi.

 


Biaya Belanja Modal Pembangkit Listrik Energi Terbarukan

PLTS Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. (Foto: Pebrianto Eko/Liputan6.com)

Menyinggung soal biaya investasi (capital expenditure atau belanja modal), pembangkit listrik EBT masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil. PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar USD 4 juta per MW, jauh lebih mahal dibanding PLTU Batubara yang sekitar USD 1,5 juta – USD 2 juta/MW.  

Perbedaan belanja modal ini disebabkan masing-masing komoditas ini berbeda cara memperolehnya, dan juga tingkat kesulitannya.

"Seperti listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi sudah memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah. Ketika anda mengeksplorasi sebuah lapangan geothermal dan melakukan pengeboran, tingkat keberhasilannya tak lebih dari 20 persen," papar Handoko.  

Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik  Tenaga Surya (PLTS/ Solar Cell) sangat besar. Sebab untuk  pembangunan PLTS dibutuhkan investasi sekitar Rp 28 miliar. Komponen terbesarnya adalah pada biaya produksi panel surya dan baterai. Selain itu, PLTS juga membutuhkan area yang sangat luas.

PLTS hanya dapat beroperasi di siang hari, sehingga untuk mengimbanginya, diperlukan juga dukungan dari pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil. 

"Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan solar cell semakin masif, seiring dengan  semakin majunya teknologi panel surya dan baterai," tambah dia.

Sebagai cantolan hukum, Pemerintah sudah punya Perpres Nomor 2 tahun 2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Dari sana ditetapkan target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada 2025 sebesar 23 persen, dan 2018  sudah mencapai 12,5 persen.   

Berdasarkan data yang dicukil dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pengembangan EBT tetap memperhatikan keseimbangan persediaan – permintaan, kesiapan sistem dan keekonomian.

Sementara itu PT PLN (Persero) akan memanfaatkan sumber energi terbarukan dari jenis energi aliran dan terjunan air, energi panas bumi (termasuk skala kecil atau modular), biofuel, energi angin, energi sinar matahari, biomassa dan sampah, serta mendukung upaya RE-BID (Renewable Energy Based on Industrial Development).

Khusus mengenai PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), dilakukan dengan pengembangan centralized PV (Photovoltaic system), guna  melistriki banyak komunitas terpencil yang jauh dari grid pada daerah tertinggal, pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara tetangga dan pulau-pulau terluar lainnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya