Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah mencabut aturan harga kewajiban penjualan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara mendapatkan tentangan dari berbagai kalangan.
Tujuan utama dari kebijakan ini untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan bahkan dikatakan mengada-ada. “Alasan yang dikemukakan sesungguhnya mengada-ada," ujar Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (28/7/2018).
Ia menuturkan, ketentuan DMO produksi batu bara hanya 25 persen dari total penjualan. Sedangkan 75 persen masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar.
"Dengan DMO produksi 25 persen, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit neraca pembayaran," ujar dia.
Baca Juga
Advertisement
Fahmy menuturkan, berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metrik ton. Sementara, harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar USD 104,65 per metrik to. Kalau penjualan 25 persen kepada PLN atau sebesar 106 juta metrik ton dijual dengan harga pasar, tambahan pendapatan sebesar USD 3,68 miliar.
Angka USD 3,68 miliar ini merupakan hasil dari USD 11,12 (jika batu bara DMO dijual dengan harga pasar) dikurangi dengan USD 7,44 miliar (jika batu bara dijual dengan harga khusus USD 70 per metrik ton). Sementara, menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar USD 25 miliar.
"Maka selisih harga itu tidak signifikan," kata dia.
Fahmy juga kritisi pernyataan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar yang menyatakan, DMO harga USD 70 yang akan dibatalkan dan bukan produksi 25 persen.
"Artinya, pengusaha batubara tidak mengekspor seluruh total produksi batubara sebesar 425 juta metrik ton, tetapi tetap menjual ke PLN sebesar 25 persen produksi atau sekitar 106,25 juta metrik ton. Hanya, menjualnya ke PLN dengan harga pasar USD 104,65, bukan harga DMO USD 70 per metrik ton," ujar dia.
"Kalau benar yang dikatakan oleh Acandra, tidak akan ada tambahan devisa dari pendapatan ekspor, melainkan penambahan pendapatan pengusaha batu bara dari PLN, yang berasal dari kenaikan harga jual dari USD 70 naik menjadi USD 104,65,” ujar dia.
Dengan demikian, pembatalan DMO harga batu bara tidak menghasilkan tambahan devisa sama sekali, kecuali hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara, sekaligus menambah beban biaya bagi PLN. "Kecuali seluruh produksi batu bara sebesar 425 metrik ton diekspor, maka akan ada tambahan devisa dari ekspor batubara sebesar USD 3,68 miliar," kata dia.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Tolak Iuran Pengusaha
Pemerintah tengah menyiapkan skema baru untuk menopang keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero).Hal ini dilakukan menyusul rencana pencabutan kebijakan harga DMO (Domestic Market Obligation) batu bara untuk PLN. Skema baru tersebut diharapkan dapat meringankan beban PLN.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan skema yang diterapkan hampir sama dengan yang ada di komoditas kelapa sawit. Jadi, perusahaan batu bara harus menyisihkan dana sekitar USD 2 hingga USD 3 per ton dari setiap penjualan.
Menanggapi hal ini, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan skema yang sedang disiapkan pemerintah tidak tepat. Ia menilai skema ‘menghidupi’ PLN dengan iuran seperti pengusaha sawit tersebut tidak tepat.
"Bahwa formulasi yang digagas Menko Maritim yang menganalogikan dengan industri sawit, adalah formulasi yang tidak elegan, bahkan merendahkan martabat dan derajad PT PLN sebagai BUMN dengan aset terbesar di negeri ini,” ujar dia dalam keterangan resmi, Sabtu (28/7/2018).
"Bagaimana tidak merendahkan martabat dan derajad PT PLN, jika eksistensi dan cash flow PT PLN harus bergantung dari dana iuran atau saweran industri batubara," lanjut dia.
Oleh karena itu, YLKI menolak rencana pencabutan harga DMO untuk perusahan setrum pelat merah tersebut. Rencana tersebut memberatkan PLN secara keuangan.
"Jangan sampai formulasi ini endingnya memberatkan (membuat bleeding) finansial PT PLN, dan kemudian berdampak buruk pada pelayanan dan keandalan PT PLN kepada konsumen listrik," tegas dia.
Yang paling dicemaskan YLKI adalah kebijakan tersebut dapat mengerek naik tarif dasar listrik (TDL) yang selama ini dinikmati masyarakat.
"YLKI mendesak agar Menko Maritim membatalkan wacana tersebut, demi kepentingan yang lebih besar dan lebih luas, yakni masyarakat/konsumen listrik di Indonesia. Wacana tersebut pada akhirnya akan menjadi skenario secara sistematis untuk menaikkan tarif listrik pada konsumen," tegas Tulus.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement