Liputan6.com, Jakarta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mewacanakan agar para penerima Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan sosial lain diwajibkan untuk berhenti merokok. Hal ini karena rokok berkontribusi besar terhadap tingkat kemiskinan di dalam negeri.
Bambang mengungkapkan, peranan rokok terhadap tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai 10 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 11 persen.
Baca Juga
Advertisement
"Karena di pedesaan peranannya itu 10 persen, di perkotaan 11 persen. Kalau keluarga merokok, maka upah riil mereka terganggu hingga 10-11 persen. Kalau itu diganti untuk dibelikan telur kan lebih bermanfaat," ujar dia dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Kantor Kominfo, Jakarta, Senin (30/7/2018).
Dengan demikian, kata dia, perlu adanya ketegasan agar para penerima bantuan sosial ini tidak lagi menghabiskan pendapatan dan dana bantuannya untuk membeli rokok.
"Kalau bisa keluarga peneriman PKH atau bansos itu tidak boleh lagi merokok. Kita harus tegas. Mereka harus berjanji berhenti merokok. Kalau tidak, pendapatan rill mereka pasti terganggu," kata dia.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengungkapkan, selain beras, rokok memang menjadi salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap garis kemiskinan, baik di pedesaan maupun perkotaan. Meski harga rokok tidak berfluktuasi seperti beras, hargnya terus meningkat setiap tahun dengan adanya kenaikan tarif cukai.
"Salah satu konsumsi penduduk miskin paling besar selain beras itu rokok. Harganya memang tidak berfluktuasi, tapi tiap tahun naik. Ada wacana harga rokok dinaikkan setinggi mungkin supaya orang tidak merokok," tandas dia.
Warga Miskin Lebih Prioritaskan Beli Rokok daripada Pendidikan dan Kesehatan
Masalah rokok dinilai sangat dekat dengan persoalan kemiskinan. Hal ini karena dominasi pengeluaran untuk rokok di kalangan masyarakat miskin masih begitu besar.
"Ini merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras atau mencapai 11 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin," ujar Chief of Communications and Partnership, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Ruddy Gobel, di Jakarta, Selasa (17/6/2018).
Baca Juga
Ruddy mengatakan, pengeluaran masyarakat miskin untuk rokok yang sedemikian besar bahkan mengalahkan pengeluaran makanan bergizi seperti telur, pendidikan anak, dan kesehatan.
Kondisi ini, kata dia, akan menyebabkan masyarakat miskin tetap berada dalam siklus kemiskinan dari generasi ke generasi.
"Untuk itu kami meminta pemerintah untuk menaikkan harga rokok setinggi mungkin sebagai salah satu langkah konkret untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin. Jadi pengeluarannya dapat dialihkan untuk konsumsi makanan bergizi, biaya pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan," jelas dia.
Ruddy melanjutkan, dengan menaikkan harga rokok secara signifikan, diharapkan tingkat konsumsi rokok terhadap masyarakat miskin akan berkurang.
"Kalau kenaikan sekadar naik dalam batas yang tidak terlalu besar itu barangkali tetap akan dibeli. Tetapi kalau dalam jumlah yang signifikan bahkan sampai naik 100 persen itu bisa membuat masyarakat miskin itu berpikir dan beralih kebutuhannya untuk kebutuhan lain," kata Ruddy.
"Ya kalau dari pandangan kami semakin besar kenaikannya maka dampaknya terhadap keengganan untuk mengonsusmsi rokok itu semakin besar. Tinggal tergantung keputusan pemerintah aja ya dikaji dari berbagai aspek," kata dia.
Sebagai informasi, berdasarkan hasil survei Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60 ribu per bungkus. Sementara, 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila rokok naik menjadi Rp 70 ribu per bungkus.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement