Gelombang Panas Diprediksi Makin Sering Terjadi di Bumi

Sejak Juni 2018, sejumlah wilayah di beberapa belahan dunia mengalami suhu panas luar biasa.

Oleh DW.com diperbarui 31 Jul 2018, 07:00 WIB
Penampakan serbuan gelombang panas di Spanyol sebagaimana difoto dari satelit NASA pada 1 Juli 2004. (Sumber Flickr/NASA/GSFC/Jacques Descloitres and Ana Pinheiro, MODIS Rapid Response Team)

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang panas biasanya didefinisikan sebagai sebuah periode waktu minimal lima hari dengan temperature 5 derajat Celsius (9 derajat Fahrenheit) lebih tinggi dari biasanya.

Sejak Juni 2018, sejumlah wilayah di beberapa belahan dunia mengalami suhu panas luar biasa, bisa menyebabkan kebakaran hutan, menghancurkan tanaman pangan, dan membunuh ratusan orang.

Clare Nullis dari World Meteorological Organization mengatakan bahwa tren ke depannya sangat jelas, di mana kita akan lebih sering mengalami gelombang panas ekstrem yang mungkin akan dirasakan lebih berat bagi orang-orang di utara Eropa.

Bagi orang dari Eropa selatan, suhu mencapai 30 derajat Celsius adalah hal yang wajar, tapi tidak demikian bagi orang dari Inggris dan Irlandia.

Temperatur di Glasgow, Skotlandia, pada Juni lalu mencapai 31,9 Celsius padahal biasanya hanya sekitar 20 derajat.

Suhu lebih dari 30 derajat Celsius juga terjadi di Jerman pada bulan Mei dan Juni. Negara Georgia suhunya bahkan mencapai 40,5 derajat.

Sementara di Montreal, Kanada, gelombang panas mencapai titik tertinggi dalam 147 tahun terakhir dan membunuh lebih dari 70 orang.

Belasan orang juga mati di Jepang dan lebih dari 2.000 orang lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan akibat panas.

Suhu lebih dari 30 derajat Celsius juga terjadi di Jerman pada bulan Mei dan Juni dan negara Georgia bahkan mencapai 40,5 derajat.

Sementara di Montreal, Kanada, suhu panas mencapai titik tertinggi dalam 147 tahun terakhir dan membunuh lebih dari 70 orang.

Belasan orang juga mati di Jepang dan lebih dari 2.000 orang lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan akibat panas. 


Terlalu Panas untuk Bisa Bertahan Hidup

Tanah di dasar waduk Guadalteba mengalami retak-retak akibat kekeringan saat gelombang panas melanda wilayah Los Campillos di Spanyol, Rabu (9/8). Eropa tengah dilanda gelombang panas Lucifer yang suhunya mencapai 40 derajat Celsius (JORGE GUERRERO / AFP)

"Gelombang panas telah menyebabkan lebih banyak kasus kematian di Eropa dalam dekade ini dibandingkan dengan kejadian cuaca ekstrem lainnya,” kata Vladimir Kendrovski, petugas teknis untuk perubahan iklim dan kesehatan pada Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Suhu tinggi dapat meningkatkan jumlah polutan di udara dan mempercepat terjadinya reaksi kimia.

Hal ini meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan pernapasan. Zat yang beterbangan di udara pun meningkat jumlahnya dalam cuaca panas ekstrem seperti serbuk sari yang dapat menyebabkan asma.

Sementara itu, temperatur tinggi yang tidak biasa pada malam hari bisa mengganggu kualitas tidur sehingga tubuh tidak bisa memulihkan diri dari panas di siang hari.

Simone Sandholz dari Institut Lingkungan Hidup dan Ketahanan Manusia, United Nations University, mengatakan kelompok umur yang rawan terkena penyakit akibat gelombang panas adalah anak kecil dan orang tua. 

Kebanyakan korban tinggal di area perkotaan dengan populasi tinggi dan minim sistem ventilasi udara yang layak.


Serangan Serangga dan Kegagalan Panen

Cuaca panas melanda sejumlah wilayah dibagian timur Cina dengan suhu rata-rata lebih dari 35 Derajat Celcius.

Suhu panas sangat disukai oleh serangga. Di Inggris saja, telepon yang mengadukan keluhan akibat gigitan serangga meningkat hampir dua kali lipat pada awal Juli.

Masalah ini menjadi sangat mengkhawatirkan bagi negara-negara yang sangat rawan malaria atau demam berdarah.

Nyamuk pembawa virus demam berdarah seperti Aedes aegypti kini juga ditemukan di wilayah-wilayah baru diantaranya karena kenaikan temperatur.

Sementara itu kasus kebakaran hutan di sejumlah negara di Eropa pun meningkat, seperti di Inggris, Swedia, dan Rusia.

Total sekitar 80.000 hektar hutan di negara tersebut telah rusak pada musim ini akibat kurangnya curah hujan dan terik matahari yang tidak biasa.

Para petani pun lebih sering mengalami kegagalan panen.  Di Inggris, petani kacang polong dan selada harus berjuang memenuhi permintaan karena hasil panen yang rendah dan gagal panen di musim tanam ini.

Gandum, brokoli, dan kembang kol adalah termasuk tanaman yang dipengaruhi oleh cuaca.

Di Jerman, para petani pun mengeluhkan panen gandum yang jauh lebih rendah karena panas dan kekeringan.

Joachim Rukwied, presiden Asosiasi Petani Jerman (DVB), mengatakan dalam sebuah pernyataan kalau beberapa petani memilih menghancurkan tanaman mereka daripada memanennya.

Reporter: DW

Sumber: DW

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya