Liputan6.com, Jakarta Bagi remaja yang baru menginjak usia 17 tahun, mungkin Yamaha RX-King tidak ada artinya. Lain halnya dengan mereka yang sudah tumbuh kesukaan pada sepeda motor pada 1980-2000-an, sosok kuda besi ini pasti lekat di ingatan.
Suara knalpot yang garing nan berisik, akselerasi yang sekejap, hingga asap putih yang mengebul dari buritan menjadi ciri khasnya. Hal-hal itulah yang membuat RX-King melekat di benak banyak penyuka motor. Satu lagi, maling gemar sekali menjadikan ini sebagai transportasi utamanya sampai-sampai julukan motor maling muncul.
Baca Juga
Advertisement
Baru-baru ini salah satu pejabat Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM), M. Abidin, mengunggah di laman sosial medianya terkait RX-King. Respons positif pun bermunculan di sana. Satu persatu pemilik, pengguna, pernah-menggunakan, hingga yang masih mengidamkan berkomentar. Tentu ini membuat kami terinspirasi merangkum kisah sang raja jalanan.
Dimulai oleh RX-K
Ya, masih sedikit yang tahu, RX-King memulai kiprahnya di Indonesia lewat RX-K. Diimpor langsung dari Jepang pada 1980 sebagai versi lebih bertenaga dari RX 100 dan RX 125 di era 1970-an. Mesin 135 cc (tepatnya 132 cc) yang digunakan RX-K membuatnya cukup dilirik. Tapi tak banyak, apalagi saat itu, ia masih berstatus motor CBU (completely built up). Nasibnya pun hanya bertahan kurang lebih tiga tahun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perjalanan RX-King
Selama peredaran RX-K, tiga konseptor asal Jepang; Nobuo Aoshima, Chikao Kimata dan Motoaki Hyodo mendapat masukan yang cukup mendasar. Masyarakat Indonesia ingin motor yang gagah, tidak boros bahan bakar dan powerful di putaran rendah.
Berbasis masukan itu, RX-King dirilis di 1983 dengan teknologi Yamaha Energy Induction System (YEIS). Tampang yang lebih gagah pun diwujudkan dengan desain yang lebih modern. Tangki bersudut, dengan lampu kotak, serta setang tinggi berjuluk kobra lantaran bentuknya.
Mesin 135 cc dengan konfigurasi 2 langkah (2-tak) dijadikan andalan. Meski saat itu, kompetitor, Honda menjagokan GL-Series dengan dapur pacu 4-tak, Yamaha sukses menjadikan RX-King berkarakter. Proses penciptaan tenaga yang lebih cepat karena hanya membutuhkan dua langkah untuk menjadikan grafik tenaganya mudah memuncak.
Dapur pacu itu tetap bertahan, karakter knalpot bising dan berasap hingga pergantian dekade. Isu emisi dan regulasi pada 2006 membuat Yamaha merilis New RX-King. Mesinnya tetap sama, hanya saja proses pengolahan gas buang diperbaiki. Knalpotnya sudah diberi catalytic converter untuk mereduksi emisi.
Asapnya pun di era itu sudah berkurang. Tak sedikit khalayak yang menyindirnya sebagai RX-King 4 tak. Apalagi fisiknya juga berbeda. Lampu bulat menjadi rumah pencahayaan utama, menggantikan lampu kotak yang menemani lebih dari 20 tahun.
Sayang nasib RX-King harus berakhir di 2009. Tren konsumen yang lebih memilih motor skutik, sedikit banyak berpengaruh pada hal ini. Yamaha pun harus berpikir strategis dan memadamkan kiprah RX-King.
Kini RX-King justru jadi buruan fans. Motor dalam kondisi tak terawat dan sekadar lengkap surat-surat saja sudah bernilai. Sedangkan versi orisinil yang masih mengenakan seluruh peranti asli, diburu kolektor. Harganya? Sungguh gelap. Nilai intrinsik rasanya tak bisa membayar nilai sentimental yang kadung merasuki para pemiliknya.
Advertisement
Suksesor, Yamaha Scorpio Z
Sebenarnya tak ada hubungan antara Scorpio Z dan RX-King. Saat King memasuki akhir masanya, pabrikan lambang garputala sudah mulai merilis motor sport tanpa fairing dengan mesin 4-tak. Tujuan hadirnya Scorpio Z lebih tepat untuk menjegal Honda Tiger. Namun, DNA "motor laki" saat itu tersisa hanya di Scorpio saja.
Dari Scorpio-lah, DNA motor laki bergaya turing berlanjut. Kini Yamaha memiliki motor naked bike dalam model Vixion, Byson, dan Xabre. Semua motor laki itu masih mengaliri sedikit DNA pejantan dari RX-King.
Sumber: Oto.com