Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat likuiditas perbankan di Indonesia saat ini masih memadai.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso menyebutkan ekses likuiditas perbankan per 18 Juli 2018 sebesar Rp 539,9 triliun.
"Ditunjukkan oleh alat likuid yang dimiliki perbankan dan dinilai masih cukup untuk mendukung pertumbuhan," kata Wimboh dalam acara Konfrensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, untuk angka pertumbuhan kredit pada posisi Juni 2018 tumbuh sebesar 10,75 persen secara year on year (YoY) lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya 7,75 persen yoy.
"OJK juga akan mengupayakan penguatan terhadap ketahanan pasar keuangan domestik antara lain melalui upaya pendalaman pasar keuangan baik dari sisi permintaan maupun penawaran serta penguatan infrastruktur,” kata dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
KSSK: Stabilitas Sistem Keuangan Terjaga pada Kuartal II 2018
Sebelumnya, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan stabilitas sistem keuangan pada kuartal II 2018 terjaga baik meski adanya peningkatan tekanan ekonomi global.
"Selama kuartal II dan mempertimbangkan hingga 20 Juli 2018 menyimpulkan stabilitas sistem keuanga kuartal II 2018 tetap terjaga di tengah meningkatnya tekanan global," ujar Ketua KSSK yang juga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa 31 Juli 2018.
Kondisi fundamental dan stabilitas ekonomi sistem keuangan yang masih terjaga, ditunjukkan dengan tingkat inflasi terjaga, lukuiditas yang mencukupi, cadangan devisa terjaga serta suplus pada APBN.
"Kondisi keuangan yang membaik pada perbankan dengan peningkatan kredit, dengan risiko kredit yang terkendali dan likuiditas perbankan yang kuat," kata dia.
Namun demikian, lanjut Sri Mulyani, KSSK tetap akan mewaspadai gejolak ekonomi global akibat kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat (AS) serta perang dagang AS dengan para mitra dagangnya.
"Meski demikian kami mencermati nilai tukar akibat lanjutan dari kenaikan suku bunga AS dan sentimen perang dagang AS dengan mitra dagang utamanya," tandas dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement