Beredar Petisi Bebaskan Korban Pemerkosaan yang Dibui di Jambi

Anak korban pemerkosaan kakak kandungnya di Jambi itu kini ditahan di Lapas Khusus Anak Sungai Buluh Muara Bulian Kabupaten Batanghari, Jambi.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 01 Agu 2018, 14:02 WIB
Ilustrasi kekerasan pada anak. Sumber: Istimewa

Liputan6.com, Jambi - Kasus pemerkosaan yang menimpa seorang gadis Jambi, WA (15), oleh kakaknya, AR (17), menjadi perhatian pemerintah pusat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Margareta bahkan mengawasi kasus yang berakhir dengan vonis hakim Pengadilan Negeri Bulian selama enam bulan penjara kepada WA.

WA sebelumnya mengaborsi bayi hasil pemerkosaan kakak kandungnya berkali-kali. Terkait kasus pemerkosaan itu, si kakak hanya divonis dua tahun penjara karena pertimbangan di bawah umur.

Kasus tersebut menarik perhatian media asing. Pasalnya, WA kini terpaksa menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Sungai Buluh Muara Bulian Kabupaten Batanghari, Jambi. Prihatin atas perlakuan yang diterima WA, Konsorsium Perempuan Jambi menyebar petisi lewat Change.org.

"Ini menunjukkan bahwa hukum di negeri ini belum berpihak bagi korban pemerkosaan yang menempatkan bahwa WA adalah pelaku aborsi yang harus menjalani pidananya di lapas tersebut. Vonis yang diterima WA, hadiah terindah anak Indonesia yang merayakan Hari Anak Indonesia yang jatuh pada 23 Juli 2018," tulis pengaju petisi dalam laman Change.org pada 24 Juli 2018, seperti dikutip Liputan6.com.

Berdasarkan informasi dari penyidik di Polres Batanghari, pasal yang dikenakan pada WA adalah Pasal 77A UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebut aborsi adalah tindakan yang bisa dikenai pidana.

Padahal, Pasal 75 ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 31 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan bagi mereka yang hamil diperkosa, apalagi kehamilannya mengakibatkan trauma.

Dalam Peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, disebutkan bahwa kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dapat dikecualikan.

Selain itu, pengadilan wajib mempertimbangkan hak-hak korban kekerasan seksual yang diatur dalam perlindungan saksi dan korban. "Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hakim tidak dapat berpedoman hanya pada UU Kesehatan saja, tetapi seharusnya hakim berpedoman pada Pasal 75 ayat (2) b," sambung pengunggah petisi.

Konsorsium menilai putusan hakim yang memvonis WA bersalah berdampak serius pada masa depan WA dan masa depan anak Indonesia umumnya. Karena itu, mereka mengajukan lima catatan dan rekomendasi kepada pemerintah.

Salah satu rekomendasi yang diajukan adalah memulihkan hak anak dan tidak menempatkan korban di Lapas Sungai Buluh, tetapi menempatkan korban di Panti Rehabilitasi Sosial yang sesuai untuk anak.

"Meminta kepada masyarakat dan pemerintah Desa Pulau, Kecamatan/Kabupaten Batanghari, untuk dapat menerima WA dan keluarga seperti semula," katanya.

Sejak diunggah sekitar sembilan hari lalu, dukungan atas petisi ini terus bertambah. Hingga Rabu (1/8/2018), petisi berjudul "Anak Korban Permekosaan tidak Layak untuk dihukum" sudah ditandatangani nyaris 8.000 orang dari target 10.000 tanda tangan.

"Masih banyak korban kekerasan seksual lainnya yang nasibnya ditentukan oleh keberpihakan terhadap korban, sehingga penanganan kasus ini tidak berulang," tulisnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya