Liputan6.com, Bandung - Anggota DPRD Jawa Barat Gatot Tjahyono menegaskan, pengaturan kawasan tanpa rokok harus merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012. Aturan ini prinsipnya bukan melarang merokok, melainkan pengaturan terhadap rokok.
Gatot mengungkapkan, pemerintah sudah melakukan kajian untuk melahirkan PP 109/2012. Contohnya, pengaturan tentang kawasan untuk merokok dan kawasan tanpa rokok.
“Dalam konteks peraturan daerah, mengacu pada peraturan yang lebih tinggi, misalnya peraturan pemerintah, peraturan menteri, undang-undang. Harus mengacu sehingga menjadi satu kesatuan,” kata Gatot dalam diskusi terkait Kawasan Tanpa Asap Rokok: Menyoal Kawasan Tanpa Rokok yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Selasa 31 Juli 2018.
Baca Juga
Advertisement
Gatot mengaku tidak membidangi komisi yang terkait rokok. Namun secara umum, pembuatan peraturan daerah ialah mengacu pada aturan yang lebih tinggi.
Pemerintah Provinsi Jabar sendiri belum mengatur soal rokok, yang ada adalah di kabupaten/kota. Sedangkan munculnya perda yang merupakan turunan dari aturan yang lebih tinggi (PP/UU), bisa muncul dari eksekutif maupun usulan DPRD.
Bisa juga perda tersebut diusulkan berdasarkan pertimbangan masyarakat luas, akademisi, asosiasi dan seterusnya. Namun Gatot sepakat jika masalah rokok ini sebaiknya disikapi dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat, tanpa harus melalui perda.
"Hal seperti ini jadi contoh bukan soal perda atau aturan tapi bagaimana kesadaran masyarakat. Terlalu banyak perda yang dihanguskan Menteri Dalam Negeri karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya," katanya.
Menurutnya, perda yang dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya terutama perda yang menimbulkan gejolak di masyarakat, menimbulkan biaya tinggi, mengganggu pada perizinan.
Ia menyatakan, tidak menutup kemungkinan perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini akan dipantau Menteri Dalam Negeri.
"Sekarang ini trennya pemerintah justru mengurangi perda dan perizinan. Tren lainnya kita lebih mengedepankan pola hidup sehat, kesehatan mahal, dan lain-lain yang menumbuhkan kesadaran," katanya.
Hananto Wibisono dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menambahkan, regulasi dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat yang bertujuan untuk merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan.
Tetapi, terkadang hal ini tidak diindahkan keberadaannya oleh sebagian orang. Tidak jarang hukum itu diciderai, dilanggar, bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai kepentingan.
"Idealnya setiap peraturan, termasuk perda, lebih bersifat mengatur, bukan sekedar melarang atau menghukum Peraturan harus memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Arti penting pengaturan dalam hal ini agar semua pihak (baik yang kontra maupun pro rokok) dapat menjalani hidup secara wajar dan tidak terganggu hak-haknya sebagai warga negara," kata Hananto.
Ia mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan bagian besar yang menopang perekonomian Indonesia di mana IHT menyerap tenaga kerja lebih dari 6 juta orang mulai dari hulu hingga hilir. Selain itu, target penerimaan cukai tahun 2018 telah ditetapkan sebesar Rp155,4 triliun dengan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebagai penopang terbesar di angka Rp 148,23 triliun atau naik 0,5 persen dibanding APBN-P 2017 sebesar Rp147,49 triliun.
Menurutnya, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil tembakau yang penting dan sebagian diekspor. Perkebunan tembakau tersebar di 14 kabupaten/kota, dengan total produksi rata-rata 20.000 ton/tahun.
Garut sebagai kabupaten terluas lahannya dengan jumlah petani sebanyak 9.795 orang, diikuti Kabupaten Sumedang dengan 9.706 petani. Sedangkan di sektor cengkeh, di Jawa Barat luas lahan perkebunan cengkeh adalah seluar 32.450 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 6.698 ton. Selain itu, tercatat pula 3.000 pekerja pada industri rokok di Jawa Barat.
"Pemerintah Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat membuat peraturan yang adil dan berimbang bagi seluruh pemangku kepentingan, serta tidak ada diskriminasi dalam hal kesempatan bagi setiap warga untuk memiliki hak yang sama," katanya.
Ia menambahkan, Perda KTR menjadi wujud solusi yang bijaksana atas pengaturan aktivitas konsumsi rokok sebagai produk yang legal, dan aktivitas perlindungan terhadap non-perokok.
"Dengan tersedianya tempat khusus merokok, maka kegiatan merokok dilakukan pada tempat yang telah disediakan dan mengurangi dampaknya bagi non perokok. Perda KTR yang sejalan dengan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012," katanya.
Rokok Adalah Budaya
Sementara itu pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Budi Rajab menyoroti rokok dari aspek budaya atau sosial. Menurutnya, rokok menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Dalam sebatang rokok, ada proses yang panjang yang dimulai dari petani tembakau, industri rokok, buruh pabrik rokok, pedagang, dan akrihnya sampai pada konsumen.
Sehingga tidak heran dengan munculnya aturan tentang rokok, akan menimbulkan tantangan di masyarakat, karena berkaitan dengan budaya itu sendiri, khususnya petani tembakau dan industri rokok itu sendiri.
Petani tembakau di Indonesia sanagat besar jumlahnya, misalnya di Jabar seperti Sumedang, Garut, kemudian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lainnya.
Dengan ketersediaan sumber daya alam itu, tak heran jika orang Indonesia masuk dalam kategori mayarakat perokok berat. Tembakau ditanam para petani yang secara sosiologis mereka mirip dengan petani padi yang hidupnya pas-pasan. Kehidupan mereka tertumpu pada penghasilan bertani tembakau.
"Bila larangan merokok ini ketat, banyak yang akan kena dampak dengan peraturan itu. Karena tembakau produk yang bertingkat, dari petani ke industri, di situ ada tenaga kerja atau buruh," kata Budi Rajab.
Menurutnya, aturan tentang rokok di Indonesia terbilang baru.
"Di Indonesia dari dulu tak pernah ada larangan merokok. Orang tua kita tak secara langsung melarang anaknya merokok. Kalaupun ada, larangannya bukan bersifat negatif atau biologois seperti penyakit, tapi mereka melarang karena anaknya belum kerja dan belum punya uang sendiri, hanya sebatas itu," tuturnya.
Berbeda dengan di Eropa di mana merokok diatur secara ketat dan dikaitkan dengan masalah kesehatan atau biologi, bahwa merokok dapat menyebabkan penyakit yang mematikan.
"Di kita secara antropologi tidak seperti itu. Bahkan di kita ada istilah uang rokok untuk orang yang membantu," katanya.
Baru pada pertengahan 80-an di Indonesia muncul persoalan politis terhadap rokok, terutama dari kalangan agama. Di masyarakat mulim, setidaknya ada dua pandangan terhadap rokok, yakni makruh dan mubah. Dua hukum ini berpengaruh pada masyarakat perokok.
Selanjutnya, pertentangan pada rokok masuk ke ranah eksekutif sampai muncul kebijakan atau aturan. Hal ini juga mengurangi jumlah perokok meski angkanya tidak signifikan.
Namun Budi melihat peraturan KTR yang ada di daerah bersifat tidak jelas, begitu juga soal siapa pemberi sanksi dan jenis sanksinya. Selain itu, aturan KTR cenderung merembet ke industri sampai petani tembakau.
Berbeda dengan di luar negeri, di mana peraturan diterapkan khusus pada penjualan. Misalnya, tidak boleh menjual kepada orang yang belum mencapai umur 18 tahun.
"Di sana pemilik rokok sadar tidak akan memberi rokok pada anak yang belum berusia 18 tahun," katanya.
"Jadi ada kesadaran penjual rokok, bukan pada anaknya. Atau kalau beli alkohol, harus dalam umur sekian. Penjualnya yang diatur, bukan pada peminumnya. Di kita semua selalu diatur dengan perda, padahal perda itu harus fokus," katanya.
Penerapan peraturan juga perlu dilakukan secara bertahap. Peraturan yang tidak bertahap akan memberatkan masyarakat, sehingga cenderung terjadi pelanggaran. Selain itu, jika dalam aturan ada kawasan tanpa rokok maka perlu juga diatur kawasan perokok.
Budi mengaku di kampusnya banyak KTR, tapi sebagai perokok, ia mengaku harus membuat sendiri kawasan merokok. Hal ini terjadi karena peraturan yang cenderung terututup.
"Peraturan di kita tertutup, misalnya aturan merokok dan tidak merokok tidak jelas," katanya.
Peraturan yang bersifat tertutup membuat terbatasnya jumlah eksekutor atau pemberi sanksi. Misalnya, jumlah personel kepolisian atau Satpol PP tentu terbatas dalam menindak semua pelanggaran di masyarakat.
Berbeda dengan di negara lain, di mana masyarakat diberi kewenangan untuk melakukan sanksi. Contohnya pedagang yang bisa dengan tegas tidak melayani pembeli rokok yang belum cukup umur.
Advertisement