2 Perwira Militer Israel Mundur Akibat UU Negara Bangsa Yahudi

Dua perwira militer Israel yang beretnis Druze, mundur dari Israeli Defense Forces (IDF) --bentuk protes atas disahkannya UU Negara Bangsa Yahudi.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 02 Agu 2018, 08:01 WIB
Bendera Israel berkibar di dekat Gerbang Jaffa di Kota Tua Yerusalem (20/3). Gerbang Jaffa adalah sebuah portal yang dibuat dari batu yang berada dalam deret tembok bersejarah Kota Lama Yerusalem. (AFP Photo/Thomas Coex)

Liputan6.com, Tel Aviv - Dua perwira militer Israel yang beretnis Druze, mundur dari Israeli Defense Forces (IDF).

Langkah mereka dipicu oleh disahkannya UU Negara Bangsa Yahudi oleh pemerintah Israel pada 19 Juli 2018. Dokumen itu secara eksklusif mendefinisikan Israel sebagai 'negara bangsa Yahudi' serta berisi klausul yang secara simbolik menegasikan status etnis non-Yahudi sebagai warga negara kelas dua.

Undang-Undang "negara bangsa Yahudi" juga menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi "dengan status khusus" --sebuah penurunan atas status linguistik tersebut-- dan mengatakan akan memajukan pemukiman Yahudi sebagai kepentingan nasional.

Merespons undang-undang tersebut, Kapten Amir Jamal yang beretnis Druze mengundurkan diri dari IDF dengan mengatakan:

"Saya, dua saudara laki-laki saya, dan ayah saya, telah melayani negara ini dengan dedikasi, tujuan dan cinta tanah air. Pada akhirnya, apa yang kami dapatkan, kami adalah warga negara kelas dua," tulisnya di halaman Facebook-nya dalam sebuah surat terbuka kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Demikian seperti dikutip dari The Jerusalem Post, Kamis (2/8/2018).

"Terus melayani negara? Saya tidak ingin melanjutkannya dan saya yakin bahwa ratusan orang lagi akan berhenti melayani negata dan akan diberhentikan dari tentara setelah keputusan Anda, Netanyahu, dan pemerintah Anda," lanjutnya.

"Setelah berpikir panjang, saya memutuskan untuk meninggalkan tentara (IDF) dan tidak melanjutkan melayani negara, sebuah negara dengan pemerintah yang hanya mengambil (manfaat warganya) tanpa memberikan kembali (balas jasa)," ia menyimpulkan dalam postingnya yang sejak itu telah dihapus dari Facebook.

Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Juru Bicara Angkatan Bersenjata Israel (IDF), setelah bertemu dengan komandannya Jamal diskors selama 14 hari akibat memposting tulisan tersebut.

Pihak IDF "menjelaskan kepadanya (Jamal) bahwa dia diharapkan untuk menahan diri mempublikasikan posting semacam itu sambil mengidentifikasi dirinya sebagai perwira di IDF,"

"IDF tidak memiliki ruang untuk wacana politik dalam bentuk apapun."

Langkah Kapten Jamal diikuti oleh Deputi Komandan Shady Zidan --seorang etnis Druze dan pemimpin salah satu batalion tempur IDF.

"Saya bukan seorang politikus dan bukan orang yang peduli tentang itu. Tetapi saya adalah warga negara seperti yang lainnya dan saya berkorban di atas segalanya dan seterusnya untuk negara. Tapi pada akhirnya saya adalah warga negara kelas dua? Jadi tidak, terima kasih," tulis Zidan di Facebook.

"Saya tidak siap untuk menjadi bagian dari ini, dan begitu juga saya bergabung dengan perjuangan ini dan saya telah memutuskan untuk berhenti melayani negara ini. Terima kasih Israel!"

Pada hari Selasa 31 Juli, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF) Letjen Gadi Eisenkot meminta para prajurit dan komandan untuk menahan diri mengomentari isu politik yang kontroversial.

"Sebagai tentara nasional yang misinya adalah melindungi keamanan rakyat Israel dan memenangkan perang, kami berkomitmen untuk menjaga martabat manusia, terlepas dari asal-usul, agama atau gender. Selalu dan akan selalu begitu," kata Eisenkot dalam sebuah pernyataan.

"Kami telah mengutamakan tanggung jawab bersama dengan Druze, Badui dan anggota minoritas lainnya yang melayani di IDF, bahwa kita akan terus memimpin."

 

Simak video pilihan berikut:


Menuai Kecaman

Bendera Israel berkibar di dekat Gerbang Jaffa di Kota Tua Yerusalem (20/3). Gerbang ini adalah salah satu dari delapan gerbang utama yang menuju ke Kota Lama Yerusalem. (AFP Photo/Thomas Coex)

Dalam beberapa pekan terakhir, anggota IDF beretnis Druze --kelompok minoritas di Israel dan melayani dalam jumlah besar di IDF, termasuk di beberapa unit paling elit-- telah mengatakan bahwa disahkannya UU Negara Bangsa Yahudi telah melanggar "aliansi darah" tradisional antara Israel dan Druze.

Setelah disahkannya undang-undang tersebut, puluhan mantan pejabat IDF dari unit seperti Golani dan Paratroopers menandatangani petisi yang menyatakan dukungan untuk komunitas Druze, mengatakan "kami berdiri bersama saudara-saudara kami."

"Tanah ini telah menyerap darah putra-putra Druze yang telah tumpah, dan mereka telah berdiri bersama kita bahu-membahu ... Di luar posisi atau afiliasi politik, kami berdiri bahu-membahu dengan mereka," baca petisi yang ditandatangani oleh mantan komandan, jenderal dan Kepala Staf IDF, Moshe "Bogie" Ya'alon, Benny Gantz dan Gabi Ashkenazi.

Para pendukung Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi yang kontroversial mengatakan bahwa legilasi itu mengabadikan nilai-nilai Yahudi dan demokrasi, tetapi kritikus melihat bahwa itu mendiskriminasi komunitas minoritas seperti Druze dan Arab Israel karena menurunkan status bahasa Arab dari bahasa resmi menjadi hanya "khusus".

Kelompok etnis Arab Israel ikut menentang undang-undang terebut. Sebagaimana diketahui, Arab Israel membentuk sekitar 20 persen dari populasi Israel yang seluruhnya berjumlah sembilan juta orang.

Meski mereka memiliki hak yang sama di mata hukum, namun mereka seringkali merasa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Selain itu, mereka juga harus menghadapi diskriminasi karena mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang lebih buruk.

"Pengesahan RUU ini melambangkan kematian demokrasi negara," kata anggota parlemen Arab, Ahmed Tibi.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, "Disahkannya undang-undang tersebut telah menafikan hak-hak orang Palestina di Israel," ujarnya di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Senin 23 Juli 2018.

Lebih lanjut, Retno mengatakan, "(UU tersebut) mengancam proses penyelesaian konflik Palestina-Israel yang mendasarkan pada solusi dua negara (two state-solution)," kata dia.

Sedangkan Netanyahu membela RUU tersebut dengan mengatakan, "Kami akan tetap memastikan hak-hak sipil dalam demokrasi Israel, tetapi mayoritas juga memiliki hak dan mayoritas-lah yang memutuskan."

Undang-undang itu didukung oleh pemerintah sayap kanan yang menyebut bahwa Israel adalah Tanah Air bersejarah bagi orang-orang Yahudi dan mereka memiliki hak eksklusif untuk menentukan nasib sendiri di negaranya.

Dalam sidang pengesahan di Knesset yang berlangsung lebih dari delapan jam, 60 anggota parlemen Israel menyetujui sementara 55 lainnya menentang. Namun, ada beberapa klausul yang dibatalkan karena presiden dan jaksa agung Israel merasa keberatan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya