IDI Nilai 3 Aturan Baru BPJS Kesehatan Bisa Rugikan Pasien

Adanya tiga aturan baru yang dikeluarkan BPJS Kesehatan dinilai Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan merugikan pasien.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 02 Agu 2018, 15:30 WIB
Peraturan baru BPJS Kesehatan dinilai IDI akan merugikan pasien. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menanggapi keluarnya tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yakni nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018. Peraturan ini mulai berlaku tanggal 21 Juli 2018.

Perdirjampel BPJS Kesehatan nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 berisi tentang bayi baru lahir dengan kondisi sehat setelah operasi caesar maupun per vaginam dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam 1 paket persalinan; penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila virus kurang dari 6/18 dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota; serta tindakan rehabilitasi medis dibatasi maksimal 2 kali per minggu (8 kali dalam 1 bulan).

Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Ilham Oetama Marsis menyampaikan respons IDI terhadap Perdirjampel BPJS Kesehatan tersebut.

"Perdirjampel BPJS Kesehatan nomor 2,3 dan 5 Tahun 2018 akan merugikan pasien. Semua kelahiran itu harus mendapatkan penanganan yang optimal. Ini karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat bahkan kematian," kata Marsis dalam konferensi pers terkait "Peraturan BPJS Kesehatan" di Kantor IDI, Jakarta, Kamis (2/8/2018), sesuai rilis yang diterima Health Liputan6.com.

Isi Perdijampelkes nomor 3 bertentangan dengan semangat IDI untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi. Soal kebutaan katarak, IDI mencatat, Indonesia termasuk salah satu negara tertinggi di dunia dengan prevalensi katarak terbanyak.

"Perdirjampel nomor 2 yang dikeluarkan BPJS Kesehatan justru mengakibatkan angka kebutaan semakin meningkat. Kebutaan juga menurunkan produktivitas dan meningkatkan risiko cedera," Marsis menambahkan.

 

 

Simak video menarik berikut ini:


Hasil terapi tidak tercapai

Dari aturan baru BPJS Kesehatan, rehabilitasi medik tidak tercapai. (Ilustrasi/iStockphoto)

Untuk pasien yang hanya mendapat pelayanan rehabilitasi medik maksimal dua kali per minggu juga akan dirugikan. Hal ini sesuai dengan Perdijampelkes nomor 5.

"Ini tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik. Akibatnya hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi," Marsis melanjutkan.

Oleh karena itu, IDI meminta BPJS Kesehatan untuk membatalkan Perdirjampel nomor 2,3 dan 5 tahun 2018. Perlu ada revisi peraturan tersebut sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan.


Pelayanan rehabilitasi medik

Bek Timnas Indonesia U-22, Bagas Adi Nugroho, menjalani terapi pemulihan di Cardea, Jakarta, Senin (31/7/2017). Lutut kiri dari pemain Arema FC ini mengalami cedera usai melakukan tekel pada kualifikasi Piala Asia U-23. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Menanggapi pelayanan rehabilitasi medik, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat beberapa waktu lalu menjelaskan, BPJS Kesehatan tetap menjamin pelayanan rehabilitasi medik, termasuk di dalamnya fisioterapi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Penting diketahui bahwa BPJS Kesehatan tidak membatasi kewenangan fasilitas kesehatan dan profesi dalam memberikan pelayanan rehabilitas medik kepada pasien JKN-KIS," ujar Nopi saat ditemui di Kantor Pusat BPJS Kesehatan pada Sabtu, 28 Juli 2018.

Pelayanan rehabilitasi medik dapat dilakukan di fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan yang punya dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi. Jika tidak ada dokter rehabilitasi medik dalam satu kabupaten/kota, maka pelayanan rehabilitasi medik bisa tetap dijamin BPJS Kesehatan dengan syarat-syarat tertentu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya