Sri Mulyani: Ketidaksetaraan Gender Timbulkan Kemiskinan

Pemerintah menggunakan Indeks Pemberdayaan Gender (GEI) untuk mengevaluasi program-program pemberdayaan gender.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 02 Agu 2018, 15:47 WIB
Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise memberikan keynote speech dalam acara Voyage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic Inclusiveness di Surabaya, Kamis (2/8/2018).

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise memberikan keynote speech dalam acara "Voyage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic Inclusiveness" di Surabaya, Kamis (2/8/2018).

Seminar ini merupakan bagian dari program Kelompok Bank Dunia - Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional 2018 (AMS 2018). Seminar ini memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholder, baik dari dalam maupun luar negeri untuk membahas, bertukar pandangan, dan pengalaman tentang manfaat ekonomi bagi pemberdayaan perempuan.

“Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan,” tutur Sri Mulyani.

Perempuan harus diberikan akses yang sama dengan laki-laki. “Di Kementerian Keuangan, kami berusaha mendesain anggaran negara sedemikian rupa untuk mewujudkan anggaran yang responsif gender. Kami ingin perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, kontrol, manfaat yang sama dalam proses pembangunan,” ia menambahkan.

Ia berharap hasil dari seminar ini menjadi masukan dalam perumusan kebijakan ekonomi, terutama pada kebijakan-kebijakan terkait pemberdayaan perempuan.


Mangalami Kemajuan

Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise memberikan keynote speech dalam acara Voyage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic Inclusiveness di Surabaya, Kamis (2/8/2018).

Sementara itu, Menteri PPPA, Yohana Yembise mengatakan kondisi perempuan Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan. Banyak upaya yang telah dilakukan, tapi data menunjukkan bahwa posisi dan status perempuan masih menghadapi hambatan dibandingkan laki-laki di berbagai bidang pembangunan.

Hal ini dibuktikan dengan data Indeks Pembangunan Gender (GDI) Indonesia adalah 92,6 sedangkan GDI dunia rata-rata adalah 93,8. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi ke-enam dari semua negara ASEAN.

Pemerintah menggunakan Indeks Pemberdayaan Gender (GEI) untuk mengevaluasi program-program pemberdayaan gender, dengan rata-rata GEI Indonesia selama 2010-2016 sebesar 70,10. Meskipun Indeks Pemberdayaan Gender sejak 2010 - 2016 terus meningkat setiap tahunnya, fakta kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih ada.

Yohana menjelaskan salah satu sektor yang menunjukkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan adalah pendidikan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata perempuan di Indonesia hanya berpendidikan sampai kelas tujuh atau kelas dua SMP. Masih banyak perempuan yang tidak menyelesaikan pendidikan SMP dan hanya memiliki sertifikat sekolah dasar.

Kondisi ini menyebabkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang masih jauh di bawah laki-laki. Berdasarkan data Sakernas (Survei Ketenagakerjaan Nasional) pada 2017, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan adalah 50, lebih rendah dibandingkan laki-laki yang sudah mencapai 83.

Dari jumlah total tenaga kerja, perempuan umumnya bekerja di sektor informal dengan persentase terbesar di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan sebesar 28 persen, diikuti oleh sektor perdagangan skala besar dan kecil sebesar 23 persen. Data Sakernas 2016 menunjukkan, meskipun perempuan memiliki tingkat pendidikan yang sama, upah yang mereka terima lebih rendah dibandingkan laki-laki.

“Perempuan yang bekerja di sektor informal masih menghadapi berbagai kendala, di antaranya terbatasnya akses sumber daya keuangan dan modal, akses untuk mendapatkan informasi tentang produk atau pasar, dan akses untuk mendapatkan pelatihan keterampilan dan peningkatan kapasitas produk. Padahal peran perempuan dalam pembangunan ekonomi telah memberikan dampak besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014, dari jumlah pelaku usaha mikro dan kecil di Indonesia, hampir 70 persen dikelola oleh perempuan,” tutur Menteri Yohana.

Untuk mengurangi kesenjangan gender, terutama di bidang ekonomi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengembangkan kebijakan Industri Rumahan (IR) yang dilakukan oleh kelompok perempuan, informal, dan memiliki modal kecil. Skala kelompok usaha ini masih kurang mendapat perhatian, meskipun kelompok usaha ini perlu diberdayakan karena dampaknya yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya