Liputan6.com, Nouakchott - Kudeta dilancarkan angkatan bersenjata Mauritania pada Rabu, 3 Agustus 2005, Kekuasaan Presiden Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya digulingkan paksa, sebagai gantinya, dewan militer dibentuk untuk mengendalikan pemerintahan.
Aksi kudeta dilancarkan saat sang presiden tak sedang berada di negaranya. Taya kala itu berada di Arab Saudi, dalam rangka menghadiri pemakaman Raja Arab Saudi, Fadh di Riyadh yang diselenggarakan pada Selasa 2 Agustus 2005.
Pengambilalihan kekuasaan diawali Rabu pagi, ketika angkatan bersenjata menduduki stasiun televisi dan radio nasional.
Baca Juga
Advertisement
Bunyi rentetan tembakan kemudian terdengar dekat istana presiden di ibu kota Nouakchott. Namun, kala itu tak ada laporan korban jiwa maupun luka. Bandara pun ditutup.
Sementara, saksi mata mengatakan, perbatasan dengan Senegal ditutup. Petugas pengaman tak mengizinkan siapapun pergi dari Mauritania.
"Saya mendengar rentetan senjata dekat kompleks istana presiden. Orang-orang yang ketakutan berlarian. Para pegawai negeri meninggalkan kantornya," kata seorang saksi pada Sydney Morning Herald.
Para tentara terlihat di jalanan kota. "Mereka memblokade jalan menuju istana kepresidenan dan rute-rute utama," kata seorang pegawai negeri yang tinggal dekat dengan kompleks kepresidenan.
Dalam pernyataannya, juta militer yang menyebut diri sebagai Dewan Militer untuk Keadilan dan Demokrasi mengatakan, mereka akan memerintah Mauritania selama dua tahun.
"Angkatan bersenjata dan pasukan keamanan dengan suara bulat memutuskan untuk mengakhiri secara definitif kegiatan rezim totalitarian yang tak lagi berfungsi di mana banyak orang yang menderita karenanya selama bertahun-tahun," demikian pernyataan junta militer seperti dikutip dari Telegraph, Kamis (2/8/2018).
"Dewan ini berjanji pada rakyat Mauritania bahwa kami akan menciptakan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang terbuka dan transparan."
Presiden Taya telah berkuasa selama dua dekade. Ia naik ke tampuk pimpinan negeri di Afrika barat lewat kudeta pada Desember 1984.
Meski pemilihan umum telah digelar sebelumnya, namun Mauritania tetap menjadi negara satu partai. Presiden Taya dikabarkan memburu dan memenjarakan lawan-lawan politiknya.
Ia juga menyulut kemarahan kalangan ulama di Mauritania, ketika ia mengakhiri persahabatan dengan Presiden Irak Saddam Hussein, dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan Israel serta Amerika Serikat pada tahun 1990-an.
Di bawah kepemimpinan Taya, Mauritania adalah satu dari hanya tiga negara anggota Liga Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.
Di sisi lain, ia bersikap represif terhadap gerakan Islam. Polisi menahan sejumlah pimpinan dan aktivis Islam, menuding mereka berkolusi dengan kelompok Salafist Group for Preaching and Combat (GSPC), yang bermarkas di Aljazair dan dikaitkan dengan Al Qaeda.
Pada Mei 2005, aparat menggerebek sejumlah masjid di seantero ibu kota, menyita sejumlah Alquran dan memenjarakan sejumlah petugas masjid.
Amerika Serikat sebelumnya telah mengirimkan para ahli militer untuk melatih tentara di Mauritania dan negara-negara lain di kawasan itu untuk memerangi gerilyawan yang dianggap beroperasi di Sahara.
Namun, para analis telah memperingatkan bahwa upaya Mauritania untuk melumpuhkan kelompok-kelompok oposisi dengan mengecam mereka sebagai teroris, berisiko menjadi bumerang dan meradikalisasi kelompok Islam moderat.
Ketika 15 tentara Mauritania tewas dalam serangan fajar di sebuah pos terdepan di dekat perbatasan Aljazair pada bulan Juni 2005, pemerintah serta merta menuding pada GSPC.
Percobaan kudeta terhadap Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya pernah dilancarkan pada 2003. Kota Nouakchott menjadi lokasi pertempuran jalanan yang melibatkan kekerasan setelah upaya kudeta oleh faksi-faksi perwira muslim dilakukan. Namun, upaya tersebut gagal.
Sementara, pada 2004, sejumlah perwira militer ditahan atas tuduhan merencanakan plot pembunuhan presiden. Salah satunya berpangkat letnan kolonel.
"Mereka berharap bisa melaksanakan rencana itu, namun digagalkan pada saat-saat terakhir," kata seorang sumber militer Mauritania seperti dikutip dari CBS News.
Saksikan video menarik berikut ini:
Lari ke Qatar
Presiden Taya yang terguling tak lantas kembali ke negaranya. Ia tiba di Niamey, ibu kota Niger beberapa jam setelah tentara dilaporkan mulai bergerak di Nouakchott.
Belakangan, ia mendapatkan suaka di Qatar. Taya, istri, dan empat anaknya dilaporkan tinggal di sebuah hotel di Doha.
Kudeta itu memperoleh dukungan luas di Mauritania. Sejumlah rakyat turun ke jalan untuk merayakan berakhirnya pemerintahan otoriter Taya yang berkuasa selama 21 tahun.
Mendengar informasi soal pergolakan di Mauritania, Amerika Serikat dan Uni Afrika awalnya mengutuk kudeta tersebut, namun kemudian melunakkan sikap mereka.
Washington DC secara khusus mengatakan siap untuk bekerja sama dengan junta militer, jika para penguasa baru menunjukkan bahwa mereka dapat memenuhi janji untuk menggelar pemilu.
Sementara itu, Taya mendesak para tentara untuk melawan kepemimpinan dewan militer dan bersumpah untuk segera kembali ke negaranya -- meskipun kata-katanya tidak ditanggapi serius oleh rakyat dan pejabat di ibu kota Mauritania, Nouakchott.
Pada 2013, Al Arabiya mengabarkan, Taya menjadi pengajar di akademi militer Ahmed Bin Mohammad Military School of Qatar.
Tak hanya kudeta di Mauritania yang menjadi peristiwa bersejarah pada 3 Agustus.
Pada 1492, Christopher Columbus, pelaut Italia, memulai perjalanan bersejarahnya untuk memulai misi menemukan jalan baru ke India.
Sementara itu, pada 1783, Gunung Asama di Jepang meletus dan menewaskan 35.000 jiwa.
Advertisement