Liputan6.com, Banyumas - Cobaan untuk petani merica atau lada di Banyumas, Jawa Tengah, seolah tak ada hentinya. Setahun lalu, sebagian tanaman usia produktif mati akibat serangan bakteri dan jamur.
Maklum, tahun 2017 lalu terjadi kemarau basah yang ditandai dengan tetap tingginya curah hujan selama kemarau. Kelembapan tinggi sepanjang musim memicu berbagai penyakit mematikan.
Tak hanya itu, tanah yang selalu basah menyebabkan bunga merica ambrol. Yang tersisa di pohon tak begitu banyak. Pendek kata, petani merica mengalami paceklik panjang usai panen 2016.
Tahun 2018 ini, musim berlangsung normal. Kemarau tiba pada pertengahan Juni. Harapan panen raya pun membuncah.
Baca Juga
Advertisement
Dan benar, mulai Juli lalu, petani merica memulai panen raya. Hasilnya cukup menggembirakan. Bulir merica memerah, pertanda siap panen.
Panen raya pun disambut gembira petani. Namun, saat hendak menjualnya, mereka terhenyak kaget. Harga merica jatuh pada harga terendah selama sepuluh tahun terakhir.
"Hanya Rp 30 ribu sekilonya," kata Mustofa, seorang petani merica Desa Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas.
Menurut dia, harga ini jauh dari harga normal merica yang biasanya mencapai Rp 120 ribu-Rp 160 ribu per kilogram. Pernah, harga merica jatuh saat panen raya pada 2015, tetapi turunnya pun hanya Rp 80 ribu per kilogram.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Merica Vietnam Bikin Harga di Indonesia Jatuh
Masih untung, Mustofa memiliki penghasilan lain. Ia adalah perangkat desa. Bertani, bagi dia, hanya sambilan.
"Disimpan sampai harga kembali normal," dia menjelaskan.
Penurunan harga merica rupanya tak hanya terjadi di Banyumas. Harga merica di Purbalingga juga jatuh seiring panen raya di wilayah ini.
Petugas Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Pangadegan, Purbalingga, Sri Haryanti mengatakan harga merica di tingkat petani berkisar Rp 30 ribu-Rp 40 ribu per kilogram. Padahal, harga merica mencapai Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu per kilogram, pada masa sebelum dan sesudah musim panen.
Selain panen raya, Sri memperkirakan jatuhnya harga juga disebabkan isu Vietnam mengekspor lada ke Timur Tengah. Isu ini menyababkan pasar lesu. Pasalnya, pemasaran lada ke luar negeri berkurang karena harga lada yang ditawarkan oleh Vietnam lebih murah dibandingkan dengan harga merica dari Indonesia.
"Jadi akhirnya harga lada di sini jatuh karena lada-lada Vietnam jauh lebih murah," ucap Sri, dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 2 Agustus 2018.
Ia menyarankan agar petani menyimpan terlebih dahulu merica hasil panennya sampai harga merica kembali normal. Terpenting, saat disimpan, merica atau lada dalam keadaan benar-benar kering.
Dia pun mengakui, lada dari Kecamatan Pengadegan tidak hanya dijual di pasar lokal. Merica dari Purbalingga diekspor ke mancanegara, seperti India, Jepang, dan Timur Tengah.
"Pengusahanya kan orang India, jadi ekspornya utamanya ke India, kemudian Jepang dan ke daerah Timur Tengah," tuturnya.
Lantaran harga jualnya yang selalu bagus, di Pangadegan, merica menjadi primadona sejak puluhan tahun lalu. Akan tetapi, kali ini sepertinya petani mesti gigit jari. Mereka harus bersabar menunggu harga merica membaik.
"Cuma ini pas panen raya jadi harga sampai anjlok tapi nanti kalau disimpan yang penting betul-betul kering bisa dijual lagi nunggu pas harga naik," dia menambahkan.
Advertisement