Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu lanjutkan penguatan pada pekan ini. Aksi beli investor asing masih menjadi katalis positif untuk IHSG.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (4/8/2018), IHSG naik tipis 0,3 persen dari posisi 5.989 pada 27 Juli 2018 menjadi 6.007 pada 3 Agustus 2018.
Penguatan IHSG selama sepekan didorong saham kapitalisasi besar masuk indeks LQ45 menguat 0,3 persen. Sedangkan saham kapitalisasi kecil turun 1,1 persen. Investor asing beli saham mencapai USD 90 juta selama sepekan atau sekitar Rp 1,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.498 per dolar Amerika Serikat).
Baca Juga
Advertisement
Di pasar obligasi atau surat utang, indeks BINDO menguat 0,2 persen. Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun menjadi 7,82 persen dari periode pekan lalu 7,74 persen. Investor asing juga beli obligasi mencapai USD 637 juta atau sekitar Rp 9,23 triliun.
Sentimen eksternal bayangi gerak pasar keuangan selama sepekan. Dari Amerika Serikat (AS), pemerintahan AS di bawah pimpinan Presiden Donald Trump mempertimbangkan menaikkan tarif menjadi 25 persen untuk impor barang China. Angka itu lebih tinggi dari target semua 10 persen.
Sementara itu, China membalas dengan mengenakan tarif barang AS senilai USD 34 miliar. Hingga kini tarif USD 16 miliar belum dikenakan meski berlaku pada 1 Agustus 2018.
AS Bakal Pangkas Pajak?
Selain itu, ada kabar pemotongan pajak AS terbaru. Trump berencana mengurangi pajak. Menteri keuangan, Steven Mnuchin sedang mempelajari apakah bisa menggunakan pengaturannya untuk memungkinkan AS memperhitungkan inflasi dalam menentukan kewajiban pajak capital gain. Ini setara dengan pemotongan pajak USD 100 miliar terutama untuk orang kaya.
Dari AS , data neraca perdagangan, tingkat pengangguran dan nonfarm payroll juga menjadi perhatian pelaku pasar.
Selain itu, kebijakan bank sentral lainnya juga jadi sorotan. Bank sentral AS dan Jepang mempertahankan tingkat suku bunga. Sementara itu, Bank of England menaikkan suku bunga 25 basis poin. Ini sesuai harapan.
Dari Eropa, ekonomi zona euro tumbuh 0,3 persen hingga Juni 2018. Sebelumnya ekonomi zona euro tumbuh 0,4 persen. Tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di wilayah euro rata-rata 0,39 persen dari 1995-2018. Angka ini mencapai rekor tertinggi.
Dari internal, Ashmore menyoroti data makro ekonomi Indonesia. Defisit fiskal Indonesia terendah sejak 2011. Pendapatan tumbuh 16 persen selama semester I 2018. Pertumbuhan itu terkuat sejak 2011. Pajak naik 14,2 persen year on year (YoY) didukung penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Sementara itu, pendapatan non pajak tumbuh 21 persen.
Meski sektor manufaktur punya proporsi pajak terbesar mencapai 30,3 persen dari total selama semester I 2018, kontribusi sebenarnya berasal dari tambang dan perdagangan . Kontribusi dari kedua sektor itu masing-masing tumbuh 79,7 persen dan 27,9 persen.
Sedangkan belanja modal kontraksi minus 14,3 persen selama semester I 2018 dengan subsidi energi naik 58,2 persen. Pengeluaran sosial naik 74,8 persen. Secara keseluruhan, defisit anggaran mencapai 0,74 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada semester I 2018. Angka ini lebih rendah dari periode sama tahun lalu -1,29 persen.
Inflasi Juli 2018 tercatat 0,28 persen dan tahunan tumbuh 3,18 persen. Angka ini lebih tinggi dari Juni 3,12 persen. Sementara itu, inflasi inti naik signifikan menjadi 2,87 persen year on year. Angka ini tertinggi sejak Desember 2017. Sedangkan pemerintah targetkan 2,5 persen-4,5 persen.
Advertisement
Pekan Sibuk dari Bank Sentral
Lalu hal apa yang dicermati ke depan?
Ashmore menyebutkan pada pekan ini termasuk pekan sibuk bagi bank sentral di dunia. Pelaku pasar pun mengantisipasi dari kebijakan bank sentral tersebut.
Pada 26 Juli 2018, bank sentral Eropa mempertahankan bunga 0 persen. Bank sentral Eropa juga berencana kurangi pembelian aset pada kuartal IV 2018. Hal ini sesuai harapan pelaku pasar.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) juga sudah menggelar pertemuan pada awal Agustus 2018. Bank sentral AS mempertahankan suku bunga acuan 1,75 persen-2 persen. Hal tersebut memberikan harapan pelaku pasar kemungkinan suku bunga naik pada September 2018 mencapai 94 persen.
Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun mencapai tiga persen. Presiden AS Donald Trump juga beri sinyal pemangkasan pajak USD 100 miliar dan berdampak terhadap kebijakan bank sentral negara berkembang. Pimpinan Gubernur AS Jerome Powell juga memberikan sinyal data ekonomi positif sehingga memperkuat spekulasi suku bunga AS akan naik lagi sebanyak dua kali. “Kami melihat the Fed akan lebih hawkish,” seperti dikutip dari laporan Ashmore.
Bank sentral Inggris juga akhirnya menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,75 persen. Ini melihat data tenaga kerja makin ketat dan pertumbuhan upah. Ini pertama kali bank sentral Inggris naik sejak 2017.
Bank sentral Jepang gelar pertemuan pada 31 Juli 2018. Pasar berspekulasi bank sentral Jepang mengubah kebijakannya terkait imbal hasil obligasi 10 tahun. Baru-baru ini imbal hasil naik menjadi 0,2 persen dari posisi 0,1 persen.
Selain itu, bank sentral Jepang juga memilih beli obligasi secara fleksibel tergantung kondisi pasar.Dengan meningkatnya pembelian obligasi lebih fleksibel, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun menjadi 0,1 persen pada pekan terakhir Juli 2018.
Secara keseluruhan, bank sentral Eropa mengakhiri pembelian aset, bank sentral Inggris menaikkan bunga acuan dan bank sentral Jepang menaikkan target hasil obligasi. Namun, the Federal Reserve atau bank sentral AS optimitis. Ekonom melihat hal tersebut dapat menyebabkan dolar AS makin perkasa.