LAPAN Sebut Puncak Kemarau Terjadi pada Agustus

Awal musim kemarau sendiri sudah terjadi pada bulan Juni 2018 lalu.

oleh Arie Nugraha diperbarui 06 Agu 2018, 06:37 WIB
Anak-anak bermain pada kubangan air yang tersisa di kawasan Bendungan Katulampa, Bogor (15/7). Musim kemarau menyebabkan Bendungan Katulampa berada di titik nol berdampak pada sumur-sumur warga di sekitar mengalami kekeringan. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Bandung - Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PSTA LAPAN) menyebutkan bulan Agustus 2018 ini merupakan puncak musim kemarau. Awal musim kemarau sendiri sudah terjadi pada bulan Juni 2018 lalu.

Menurut anggota tim variabilitas iklim 2018 PSTA LAPAN, Erma Yulihastin, musim kemarau terlihat dari aspek angin Monsun dari arah Timur atau Tenggara yang sudah seragam (homogen) terjadi di Selatan Indonesia.

Erma menjelaskan selain angin Monsun, tingkat suhu dan aspek kekeringan di udara serta liputan awannya menguatkan prakiraan puncak musim kemarau yang terjadi saat ini.

"Biasanya puncak kemarau itu akan terjadi di bulan Agustus dan akan berakhir di bulan Oktober normalnya, kemudian November sudah berganti arah angin sudah berubah dari angin timuran menjadi baratan hingga menjadikan tanda-tanda sinyal datangnya musim hujan. Nah jadi kita perlu memantau terus ini, seperti apa perubahan anginnya kalau dari secara umum seperti itu," kata Erma Yulihastin melalui telepon, Bandung, Minggu 5 Agustus 2018.

Namun kata Erma, sekarang ini di Samudera Pasifik sedang terjadi dua gangguan anomali cuaca yaitu berpeluang El Nino dan La Nina. Erma menyebutkan kemungkinan terjadinya gangguan El Nino dan La Nina terus meningkat sebesar 65 persen.

Erma menjelaskan El Nino diperkirakan akan terjadi pada September, Oktober, dan November 2018. Hal itu berdasarkan penelitian internasional yang diterbitkan oleh Universitas Columbia.

Pernyataan itu dikuatkan oleh otoritas pemantau cuaca Australia yang memperlihatkan dari delapan model pemantauan pemanasan global, lima model pemantauan global cuaca diantaranya menunjukkan akan terjadinya anomali cuaca El Nino pada tiga bulan menuju penghujung tahun 2018. Tetapi kata Erma, model otoritas pemantau cuaca Australia sendiri disebutkan normal.

"Sedangkan lima model pemantau cuaca global diantaranya dari Amerika dan Inggris memperkirakan adanya El Nino di September, Oktober dan November. Ini jadi masalah kalau El Nino ke wilayah kita," ujar Erma.

 


Antisipasi Kebakaran Hutan

Anak-anak bermain pada kubangan air yang tersisa di kawasan Bendungan Katulampa, Bogor (15/7). Musim kemarau menyebabkan Bendungan Katulampa berada di titik nol berdampak pada sumur-sumur warga di sekitar mengalami kekeringan. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Adanya prakiraan terjadinya El Nino tersebut berdampak panjangnya musim kemarau di Indonesia yang memicu di antaranya musim kekeringan dan asap kebakaran hutan yang sulit dipadamkan. Pemerintah Indonesia diharapkan harus mengantisipasi akan dampak kondisi cuaca global tersebut.

LAPAN memperkirakan pada November 2018, musim kemarau akan terus berlanjut akibat adanya anomali El Nino. Namun perkembangan cuaca tersebut akan dipantau kembali pada bulan September 2018 kemungkinan perubahan kondisi cuaca.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya