Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan periode sama tahun lalu hanya 5,01 persen.
"Pertumbuhan ini cukup bagus. Dan pendorong utamanya karena di triwulan II ini ada momen Ramadan dan Lebaran," kata Kepala BPS Suhariyanto di kantornya, Senin (6/8/2018).
Dia menjelaskan selain lebih tinggi jika dibandingkan periode sama 2017, angka ini juga lebih tinggi dibandigkan pertmbuhan ekonomi triwulan I 2018 yang saat itu 5,06 persen.
"Memang ini cukup bagus, namun kalau di 2018 ditargetkan sebesar 5,4 persen, ini masih belum capai target," tambah dia.
Baca Juga
Advertisement
Realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2018 ini di atas perkiraan ekonom. Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018 diprediksi berada pada kisaran 5,15 persen.
Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal II adalah pencairan tunjangan hari raya (THR) dan libur panjang Lebaran. Hal ini menjadi stimulus bagi konsumsi rumah tangga.
"Konsumsi rumah tangga memang terbantu besarnya kenaikan THR dan libur panjang. Serapan belanja pemerintah, khususnya belanja pegawai, juga menstimulus ekonomi nasional. Meskipun tantangannya kelas menengah masih menahan belanja untuk antisipasi kenaikan harga BBM nonsubsidi dan pangan di semester II," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sepanjang 2018
Sebelumnya, Center of Reform on Economy (Core) Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2018 sebesar 5,1 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun 2018 hanya akan mencapai kisaran 5,2 persen.
"Dalam CORE Economic Outlook 2018 yang dirilis bulan November tahun lalu, CORE telah memprediksikan bahwa ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan tumbuh 5,1 hingga 5,2 persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,4 persen," ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, dalam "CORE Mid-year Review 2018", di Hong Kong Cafe, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Dia menjelaskan, hingga semester I 2018, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang Iebih tinggi pada 2018 mendapat tantangan yang semakin berat akibat meningkatnya tekanan eksternal.
BACA JUGA
"Selain kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah akibat penaikan suku bunga acuan the Fed, perang dagang yang mengalami eskalasi akhir-akhir ini menjadi tantangan baru di tahun ini," kata dia.
Di dalam negeri, konsumsi swasta yang mengalami perlambatan selama hampir dua tahun sebenarnya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada kuartal kedua tahun ini.
"Selama dua tahun (pertumbuhan konsumsi) di bawah 5 persen. Pada kuartal kedua lebih cepat dari kuartal I 2018, juga lebih cepat kuartal yang sama di tahun lalu," ujar dia.
Sejalan dengan membaiknya permintaan domestik, industri manufaktur juga mulai melakukan ekspansi signifikan sepanjang paruh pertama tahun ini. Meski demikian, dorongan pertumbuhan ekonomi dari dalam negeri tertahan oleh gejolak global.
"Dampaknya sudah terlihat dari kinerja neraca perdagangan kembali jatuh defisit di paruh pertama tahun ini, serta pergerakan nilai tukar rupiah yang semakin liar akhir-akhir ini," ujar dia.
Sementara itu, investasi yang menjadi salah satu motor pertumbuhan utama juga berpotensi melambat akibat tekanan eksternal dan ketidakpastian menjelang tahun politik.
Di sisi lain, pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan kenaikan harga minyak memberikan efek positif terhadap penerimaan pemerintah.
"Windfall ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja yang lebih berkualitas dan pengelolaan risiko fiskal, termasuk di antaranya pengelolaan utang," ujar dia.
Advertisement