Jakarta - Ellyas Pical berdiri di sisi kanan ring tinju. Badannya basah dengan keringat. Sesekali kali dia meminta handuk untuk mengelap keringat di wajah dan tubuhnya. Setelah itu, Elly kembali mencoba melepaskan pukulan hook kirinya yang legendaris.
Tak ada gemuruh sorak sorai ribuan penonton. Bahkan, tak ada lawan yang mengancam pertahanannya. Di depannya hanya ada kamera yang merekam pukulan demi pukulan yang dilepaskan Ellyas Pical.
Advertisement
Petinju legendaris Indonesia tersebut memang tidak sedang bertanding memperebutkan gelar. Dia tengah bernostalgia, mempraktikkan pukulan hebat yang mengantarnya ke puncak pentas tinju dunia. Ring tempat Elly berdiri sore itu berada di kawasan Bintaro, Tangerang. Ukuran ring juga kecil, tak semegah di Istora Senayan.
Namun, jiwa juara dunia Elly sepertinya tak pernah luntur. Wajahnya masih memancarkan tekad baja. Dia seolah-olah memang sedang menghadapi rival berat. Tak ada rasa takut. Tak ada kompromi.
Kenangannya mungkin sedang meloncat jauh ke belakang. Ronde kedelapan pertarungan yang sangat berarti bagi Ellyas Pical dan bangsa Indonesia.
Hari itu, kalender menunjukkan 3 Mei 1985. Istora Senayan penuh sesak. Tak kurang 17 ribu orang mengelu-elukan nama Elly. Jutaan mata lainnya di berbagai penjuru Indonesia memaku pandangan ke televisi. Jantung mereka berdegup penuh harap menanti sebuah sejarah baru bagi Indonesia. Ellyas Pical menjadi aktor utamanya.
Elly, yang saat itu berusia 25 tahun, punya waktu 15 ronde untuk mencoba menjadi juara dunia tinju yang pertama asal Indonesia. Namun, rintangan besar mengadang di depannya. Elly harus merebut sabuk juara dunia kelas terbang super atau bantam junior versi IBF dari pinggang petinju Korea Selatan, Ju Do Chun.
Chun punya modal yang bisa membuat lawan jeri. Lima petinju yang sebelumnya berusaha merebut gelarnya dibikin terkapar alias kalah KO. Chun juga tak gentar bertanding di Jakarta, di bawah tekanan belasan ribu penonton, yang mengelu-elukan Ellyas Pical.
Tapi, Ellyas Pical juga tak gentar. Dia sudah mempersiapkan pertandingan akbar itu dengan cermat. Dia menempa diri secara intensif di bawah arahan sang pelatih, Simson Tambunan.
"Sebelum melawan Chun saya berlatih keras selama enam bulan," kenang Elly, dalam percakapan dengan Bola.com, 13 Juli lalu.
Hasil tak pernah mengkhianati usaha. Ellyas Pical benar-benar memborbardir Chun. Pada ronde keempat Chun terjungkal, tak kuasa menahan hook kiri legendaris Elly. Tak salah Elly berjuluk The Exocet. Pers memberikan julukan tersebut merujuk rudal buatan Prancis yang digunakan Inggris menyerang Argentina pada Perang Malvinas 1982. Hook kirinya meluncur deras bak rudal.
Chun mampu bangkit. Namun, sejatinya dia hanya mengulur-ulur momen kemenangan Elly. Chun akhirnya benar-benar menyerah pada pertengahan ronde kedelapan. Chun dengan sisa-sisa tenaga berusaha melepaskan hook kanan ke wajah Elly. Petinju asal Saparua, Maluku, itu cekatan menghindar.
Elly kemudian balik melepaskan hook kanan, tapi belum kena sasaran. Sekonyong-konyong Elly menyarangkan hook kiri ke rahang Chun. Petinju Korsel itu terjungkal. Istora Senayan langsung bergemuruh. Juara dunia baru telah lahir. Ellyas Pical berhasil menorehkan namanya di buku sejarah.
Latihan Ekstrem
Tiga puluh tiga tahun berselang, Elly mengenang momen itu dengan penuh senyum. Dia berbagi resep kesuksesannya. Tentu saja keberhasilan tersebut datang berkat latihan keras. Mantan petinju yang kini tinggal di Perumahan Duta Bintaro, Kunciran, Tangerang itu tak pernah setengah-setengah saat berlatih. Ada satu hal yang dipegangnya dengan teguh saat menapaki jalan menuju juara dunia.
"Sepanjang perjalanan saya menuju sabuk juara dunia, satu kunci yang harus dipunyai adalah disiplin. Mulai disiplin waktu berlatih sampai disiplin menjaga kebugaran fisik," ujar Elly.
Petinju kelahiran 24 Maret 1960 tersebut disiplin berlatih lima hari dalam sepekan, Senin hingga Jumat. Sabtu dan Minggu dihabiskannya untuk beristirahat, serta ke gereja. Elly mengekang nafsunya untuk bersenang-senang seperti pemuda-pemuda seusianya. Hidupnya hanya berkutat dengan latihan, latihan, dan latihan.
Elly semakin keras pada dirinya sendiri saat menghadapi pertandingan. Dia tahu, gelar juara mustahil datang dengan sendirinya. "Dulu saya biasanya berlatih dari jam 08.00 sampai pukul satu siang. Kalau selesai berlatih, balik ke mess. Tidak pernah main-main. Harus disiplin, juga mendengarkan kata pelatih," urai Elly.
Elly juga menerapkan metode latihan ekstrem. "Saya dulu sering berlatih dengan berlari menggendong ransel berisi pasir seberat 20 kilogram. Larinya di kawasan Puncak, jadi menanjak. Selain itu juga latihan di Pantai Ancol. Latihannya dengan berlari di air. Kalau tidak latihan seperti itu, mana mungkin bisa jadi juara dunia."
Bukan hanya disiplin dan keras saat berlatih, Elly juga ketat menjaga pola makan. Dia berusaha menjaga fisiknya selalu bugar.
"Saya selalu tepat waktu memulai waktu berlatih, terutama menempa fisik agar konsisten dan terus berkembang. Selain itu, saya menjaga pola makan. Menu harus seimbang, saya makan aneka sayuran dan membatasi nasi," kata Elly.
Elly selalu keras pada dirinya sendiri, bahkan sejak masih bocah. Pada masa kecilnya, Elly sering menyelam mencari mutiara hingga ke dasar laut. Aktivitas tersebut sangat berisiko, namun tampaknya berhasil mengasah nyali dan stamina Elly.
Dunia Elly saat itu berpusat di Saparua. Namun, kotak televisi mengubah hidup Elly. Lebih tepatnya tayangan pertarungan juara tinju dunia kelas berat, Muhammad Ali.
Sosok Ali membuat Elly terpesona. Dia tak pernah melewatkan pertarungan Ali. Tak cukup mengagumi, dia ingin manapaki jejak Ali. Diam-diam dia berlatih tinju. Larangan orang tua tak berhasil memaksanya berhenti. Perlahan tapi pasti dia membangun kariernya, diawali di level amatir.
Pada 1980, Elly Pical mulai menuai hasil latihan kerasnya, dengan menjuarai Piala Presiden. Setahun berselang, lagi-lagi dia kembali juara pada event yang sama. Elly juga berjuang untuk Indonesia. Prestasi terbaiknya adalah medali perunggu pada SEA Games 1981 di Manila, Filipina.
Advertisement
Teguh Menghadapi Godaan
Tepat dua tahun berselang, Ellyas Pical mulai terjun ke pro. Prestasi demi prestasi ditorehkan Elly di level pro, tepatnya di kelas bantam junior.
Elly merupakan petinju pertama asal Indonesia yang meraih titel pertama di luar negeri. Pada 19 Mei 1984, suami Rina Siahaya Pical, itu mengalahkan petinju Korea Selatan, Jung Hee-yung, dengan angka mutlak di Seoul. Dia berhak merebut sabuk gelar OPBF. Hampir setahun berselang, Elly bahkan sudah berhasil menjadi juara dunia setelah memenangi pertarungan kontra Ju Do Chun.
Gelar juara dunia itu sempat direbut petinju Republik Dominica, Cesar Polanco, pada 15 Februari 1986. Namun, lima bulan berselang Elly berhasil mengembalikan sabuk juara itu ke pinggangnya.
Sabuk juara kembali lepas dari Elly pada 28 Februari 1987, setelah kalah dari petinju Thailand, Khaosai Galaxy, di Stadion Utama Senayan. Dia KO pada ronde ke-14.
Kesempatan kembali menjadi juara dunia datang ketika dia menantang Tae-Il Chang. Chang merupakan juara dunia kelas terbang super IBF yang ditanggalkan Galaxy. Pertarungan itu berhasil dimenangi Elly. Dia kemudian tiga kali mempertahankan gelar melawan Raul Ernesto Diaz, Kim Ki-chang, dan Mike Phelps.
Sabuk juara benar-benar lepas dari Elly setelah kalah dari Juan Polo Perez di Valley Sports Arena, Virginia AS, pada 14 Oktober 1989. Dia kalah dari Juan Polo Perez. Setelah kekalahan itu, Ellyas Pical memutuskan gantung sarung tinju. Sepanjang kariernya, Elly naik ring 26 kali, dengan 20 kali menang (11 KO), lima kali kalah, dan sekali seri.
Elly hanya enam tahun berkiprah di kancah tinju profesional. Namun, dalam rentang waktu yang relatif singkat itu Elly sukses menorehkan tinta emas dalam sejarah tinju Indonesia dan dunia. Bahkan, situs Asian Boxing melabelinya sebagai petinju dengan pukulan paling menakjubkan dalam sejarah kelas terbang super.
Menapaki karier hingga puncak jelas butuh perjuangan keras. Tetapi, menurut Elly ada yang lebih sulit. Seperti kata pepatah 'semakin tinggi pohon, semakin kencang yang menerpa'. Elly mengakui bertahan di puncak butuh perjuangan tak kalah keras.
"Saat berada di puncak, banyak godaan yang menghampiri. Namun, ketika sudah berpikir ke arah negatif, saya selalu ingat ketika hidup sebagai perantau. Saya selalu ingat ketika harus utang dulu ke warung tegal (warteg) sebelum latihan, lalu membayarnya setelah berlatih di sasana," kata Elly.
"Saya harus paham, mengejar dan meraih status juara dunia itu tak mudah, banyak sekali pengorbanan yang harus saya alami. Karena itulah, ketika saya berada di atas, saya selalu berkonsentrasi agar bisa menampilkan performa terbaik. Selain itu, ketika sempat terjatuh, saya yakinkan diri sendiri untuk bisa bangkit, dan ternyata itu berhasil," imbuh ayah dari Lorinly dan Matthew Pical itu.
Mimpi Besar
Masa kejayaan itu telah lama berlalu. Ellyas Pical kini fokus menjalani aktivitasnya sebagai pegawai di KONI dan menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Sesekali, dia menengok dan menyemangati para petinju muda Indonesia yang berlatih, biasanya di Senayan. Alasan kesehatan membuat Elly tak bisa turun langsung menerpa junior-juniornya di ring.
Namun, Elly masih menyimpan impian besar. Dia berharap melihat lebih banyak petinju Indonesia berjaya di pentas dunia, baik di level profesional maupun amatir. Elly ingin melihat petinju-petinju Indonesia mengenakan sabuk juara dunia, bisa merasakan kebanggaan yang dulu pernah bergemuruh di dadanya.
"Saya ingin cerita saya menginspirasi petinju-petinju muda Indonesia. Saya ingin ada juara dunia lagi dari Indonesia. Saya juga ingin ada petinju Indonesia yang bisa meraih emas di Asian Games 2018. Jika ada kesempatan, saya pasti akan memberikan dukungan," tegas Elly.
Setelah Ellyas Pical, Indonesia punya beberapa juara dunia lainnya. Sebut aja Nico Thomas, Suwito Lagola, Ajib Albarado, M. Rahman, Chris John, dan Daud Yordan. Indonesia punya potensi besar. Begitu menurut Elly. Sayangnya, potensi itu belum dipoles dengan maksimal. Tinju Indonesia belum bisa berkibar tinggi seperti yang diharapkan Elly.
"Indonesia punya banyak potensi. Namun, yang kurang soal disiplin. Banyak petinju muda yang tak mampu menjaga makanan, kurang disiplin latihan dan kadang ingin cepat sukses. Satu yang lebih memprihatinkan adalah ketika sang petinju mulai menanjak, misalnya meraih gelar juara nasional, dia langsung serasa terbang dan 'sok jagoan'," kata Elly.
'Saya paham, saat itu mereka sudah dapat bayaran tinggi dan terkenal. Sayang, ketika berada di titik itu, sebagian dari mereka justru mulai berulang. Selain menghambur-hamburkan uang, biasanya yang menjadi penyebab penurunan atau kehancuran adalah mulai mengenal wanita. Dua hal tersebut membuat unsur-unsur awal seperti disiplin, menjadi hancur berantakan."
Elly tahu Indonesia menghadapi jalan terjal dan berliku untuk berbicara banyak pada percaturan tinju dunia. Tapi, dia meyakini tak ada rintangan yang tak mungkin ditaklukkan. Ellyas Pical yakin suatu saat nanti Indonesia bisa kembali memiliki petinju-petinju hebat. Kepingan asa itu tak pernah padam.
"Saya ingin membantu petinju-petinju muda Indonesia menjadi juara. Hanya dua kuncinya. Disiplin dan totalitas," tegas Ellyas Pical.
Advertisement