Auditor BPK Sebut Ada 4 Penyimpangan Keluarnya SKL BLBI ke Sjamsul Nursalim

Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ahli dalam persidangan kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Agu 2018, 18:56 WIB
Terdakwa dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggungmenunjukkan berkas pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/8). Sidang mendengar keterangan dua saksi ahli. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ahli dalam persidangan kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara dihadirkan untuk menjelaskan kerugian negara dalam perkara ini.

Nyoman menuturkan, dalam penerbitan SKL kepada obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim terjadi empat penyimpangan. Pertama, Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dengan menyatakan piutang Rp 4,8 triliun petambak sebagai aset lancar, padahal sebaliknya.

"Dengan kondisi tersebut berdasarkan MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), seharusnya Sjamsul Nursalim mengganti atas misrepresentasi tersebut," kata Nyoman dalam persidangan, Senin (8/6/2018).

Penyimpangan berikutnya, dilakukan oleh terdakwa kasus SKL BLBI selaku Kepala BPPN yang memindahkan penanganan kredit untuk restrukturisasi utang tak melibatkan Asset Management Investment (AMI) dalam penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Hal ini tidak sesuai dengan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tanggal 13 Mei 2002. Berdampak pada penghapusan piutang petambak sebesar Rp 1,1 triliun.

"Hal itu tidak sesuai dengan keputusan KKSK tanggal 13 Mei 2002 di mana KKSK memerintahkan BPPN untuk melibatkan divisi AMI dalam penanganan aset bank yang terkait pemegang saham," kata Nyoman.

Syafruddin juga diduga tidak memberikan informasi lengkap bahwa piutang petambak merupakan aset BDNI yang diperhitungkan untuk melunasi kewajiban utangnya. Karena itu Sjamsul Nursalim masih memiliki kewajiban tambahan dalam MSAA karena adanya misrepresentasi.

"Ini tak sesuai dengan keputusan KKSK tanggal 7 Oktober 2002 memerintahkan BPPN untuk melaporkan rincian lebih lanjut atas penanganan PKPS Sjamsul Nursalim termasuk menyelesaikan permasalahan Dipasena," jelas Nyoman.

Syafruddin sebagai kepala BPPN telah melakukan penyimpangan lantaran mengeluarkan akta perjanjian penyelesaian akhir No 16 tanggal 12 April 2004 dan SKL tanggal 26 April 2004. Padahal Sjamsul belum menyelesaikan misrepresentasi piutang petambak kepada BDNI senilai Rp 4,8 triliun. Sjamsul dinilai tidak menyelesaikan kewjaibannya sesuai dengan MSAA atau perjanjian kesepakatan mengenai teknis pengembalian piutang dengan jaminan aset dan pembayaran tunai.

"Kami berpendapat bahwa SN tidak menyelesaikan kewajibannya, atau 'cidera janji' menyelesaikan kewajibannya atas mispresresentasi piutang petambak senilai 4,8 T," kata Nyoman.

Oleh karena itu, BPK menemukan kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun. Angka tersebut berdasarkan piutang BDNI kepada petambak sebesar Rp 4,8 triliun dikurangi Rp 220 miliar penjualan aset BDNI.

"Sehingga kerugiannya keuangan negara Rp 4,58 T. Kita lihat terjadi misrepresentasi dan dijual hanya dijual 220 miliar," kata Nyoman.

 


Yusril Keberatan Jaksa Hadirkan Auditor BPK Sebagai Ahli

Terdakwa dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung(kiri) bersama penasehat hukumnya saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/8). Sidang mendengar keterangan dua saksi ahli. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Pada sidang hari ini, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan seorang saksi mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen MS Yusuf, dan ahli seorang auditor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) I Nyoman Wara.

Pihak kuasa hukum terdakwa, Yusril Ihza Mahendra keberatan dihadirkannya auditor BPK sebagai seorang saksi. Sebab, sebagai ahli dia harus memberikan pendapat terkait hasil audit BPPN tahun 2006 yang dilakukan dirinya sendiri.

"Beliau dihadirkan sebagai ahli kami tidak mempersoalkan, sebagai saksi ahli tapi beliau hadir sebagai ahli dan terkait alat bukti lain bukti surat hasil pemeriksaan audit BPK yang melaksanakan audit beliau sendiri," kata Yusril dalam persidangan.

Dia menilai jika ahli terkait dengan alat bukti akan terjadi dualisme. Jaksa menghadirkan ahli auditor BPK untuk menilai alat bukti audit BPK terhadap BPPN tahun 2002-2006.

"Kita paham keterangan saksi dan ahli berdasarkan pasal 1 tapi beliau dihadirkan sebagai ahli terkait alat bukti sebelumnya dan alat bukti bisa dualisme karena bisa keterangan ahli dan alat bukti," jelasnya.

Lantas Yusril meminta agar posisi Nyoman dalam persidangan diklasifikasi. Ketua Majelis Hakim menuturkan memang biasanya auditor BPK dihadirkan dalam sidang sebagai saksi. Hakim lalu bertanya bagaimana posisi dia ketika KPK melakukan penyidikan.

"Anda waktu diperiksa di KPK jadi apa?" tanya hakim.

Nyoman kemudian mengatakan dirinya pernah diperiksa sebagai ahli. Dia mengaku sebagai ahli di bidang akutansi dan auditing. Kemudian hakim memeriksa surat tugas yang bersangkutan.

Namun, Yusril menegaskan bahwa dalam BAP ada perbedaan. Pada halaman 13 Nyoman sebagai saksi, namun pada halaman 1 sebagai ahli.

Hakim tak mempersoalkan hal tersebut lantaran pada persidangan kali ini dihadirkan sebagai ahli. Keberatan kembali dilayangkan pihak terdakwa karena statusnya tak jelas sebagai ahli ataupun saksi. Namun, hakim mempersilakan pihak kuasa hukum untuk menanyai langsung saja dalam persidangan ini sebagai ahli.

"Tinggal nanti saja saudara tinggal tanya aja pendapat dia, dia kan harus memberikan pendapat," kata hakim.

 

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya