Sidang BLBI, Yusril Sebut Aneh Ahli BPK Nilai Pekerjaannya Sendiri

Yusril mempersoalkan Nyoman sebagai ahli atau saksi dalam perkara ini.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 07 Agu 2018, 06:17 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mendampinggi tersangka mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung usai penendatangan P21 di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4). (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kembali melanjutkan sidang perkara korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membelit terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.

Dalam sidang yang berlangsung, Senin 6 Agustus 2018, tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan satu saksi yakni Mantan Ketua BPPN Glen MS Yusuf, dan satu ahli akuntansi dan auditing dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), I Nyoman Wara.

Sebelum saksi dan ahli memberikan keterangan, tim kuasa hukum terdakwa Syafruddin meminta kepada majelis hakim untuk mengklarifikasi tentang posisi Nyoman apakah selaku saksi atau ahli.

"Boleh klarifikasi sebelum diambil sumpah. Begini, sehubungan dihadirkan ahli saudara Nyoman Wara ingin beberapa hal klarifikasi kepada rekan-rekan JPU dan majelis," kata Yusril Ihza Mahendra, salah satu kuasa hukum terdakwa Syafruddin.

Tim kuasa hukum mempersoalkan Nyoman sebagai ahli atau saksi dalam perkara ini, karena dia merupakan auditor BPK yang pernah melakukan audit terkait BLBI terhadap BDNI.

"Beliau hadir sebagai ahli dan terkait alat bukti lain, bukti surat hasil pemeriksaan audit BPK yang melaksanakan audit beliau sendiri. Kita paham keterangan saksi dan ahli berdasarkan Pasal 1, tapi beliau dihadirkan sebagai ahli terkait alat bukti sebelumnya dan alat bukti bisa dualisme karena bisa keterangan ahli dan alat bukti," katanya.

Menurut Yusril, pihaknya keberatan karena Nyoman yang diajukan sebagai ahli untuk diminta menilai pekerjaan hasil auditnya sendiri sehingga ini sangat tidak adil dalam proses penegakan hukum.

Ketua Majelis Hakim Yanto kemudian menyampaikan dalam praktik peradilan, BPK diajukan sebagai ahli dan jika ada yang keberatan, bisa menuangkannya dalam pledoi. Namun Yusril tetap meminta agar persoalan ini menjadi clear sebelum Nyoman mengucapkan sumpah.

"Biar clear dulu, kalau ahli menerangkan hasil ini dia menerangkan fakta, apakah melakukan audit melalui standar tidak bisa jadi ahli," kata Yusril.

 


Tragedi Penegakan Hukum

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mendampinggi tersangka mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung usai penendatangan P21 di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4). (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Perdebatan terus berlangsung antara tim kuasa hukum dan juga tim jaksa penuntut umum. Majelis kemudian menanyakan saat penyidikan saksi diperiksa sebagai apa. Nyoman mengaku diperiksa sebagai ahli dan mendapat tugas dari lembaganya juga sebagai ahli.

Sementara Yusiril menyampakan ini harus diklaifikasi terlebih dahulu agar tidak membuat bingung. "Adil dan benar Yang Mulia, supaya tidak menimbulkan confuse di antara kita," katanya.

Akhirnya majelis memutuskan bahwa yang bersangkutan bisa menyampaikan keterangan sebagai ahli. Sedangkan pihak yang keberatan, bisa menyampaikannya dalam pledoi atau pembelaan.

Saat skors sidang, Yusril berpendapat, ini merupakan tragedi pengadilan. Audit yang dikerjakan Nyoman itu dituangkan dalam bentuk satu laporan yang kemudian menjadi laporan resmi BPK lalu menjadi dokumen. Dokumen tertulis mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai keterangan ahli dan alat bukti surat.

"Kalau dia alat bukti surat, itu ahli menerangkan apa yang dilakukan, apa yang ditemukan, bagaimana prosedur yang dilakukan. Itu artinya, dia menilai pekerjaannya sendiri. Kan sangat aneh orang disuruh menilai pekerjaannya sendiri, benar atau tidak, kan itu sangat tidak rasional," ujarnya.

Kemudian, lanjut Yusril, jika Nyoman dihadirkan sebagai saksi fakta, dia hanya menerangkan fakta-fakta apa yang ditemukannya dan dituangkan ke dalam laporan tertulis. Pasal 1 angka 26, 27, dan 28 KUHAP dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti. Posisi yang bersangkutan harus diklarifikasi terlebih dahulu.

"Ketua majelis mengatakan, yang berlaku di pengadilan selama ini, ya seperti ini. Bagi saya itu tragedi bagi penegakan hukum, penegakan supermasi hukum dan due process of law. Ada proses yang tidak adil dalam menegakkan hukum," ujarnya.

Yusril berpendapat ini merupakan tragedi karena orang bisa dihukum dengan dua bukti, keterangan surat dan keterangan ahli. "Ini bukti suratnya dia sendiri yang bikin, dihadirkan ke situ jadi satu bukti. Dihadirkan ke persidangan satu bukti, dia berikan keterangan 2 bukti, orang sudah bisa dihukum. Mengerikan saksi yang hadir di sini," ujarnya.

Yusril juga sempat mempersoalkan audit investigatif yang dilakukan BPK karena atas permintaan KPK dengan bukti-bukti yang diserahkan dari penyidik. "Saya bilang, kalau bukti-bukti diserahkan penyidik, Anda bisa mencari bukti-bukti yang lain enggak? Dia bilang bukti-bukti yang lain tidak relevan," katanya.

Menurut Yusril, bukti yang digunakan hampir 100% dari penyidik KPK. Bukan hanya itu, KPK juga sudah menyatakan bahwa terjadi kerugian keuangan negara kemudian meminta BPK untuk menghitungnya.

"Kalau itu sudah ada asumsi bahwa sudah ada kerugian negara. Kalau menurut pendapat saya, (seharusnya) nih ada enggak kerugian negara. Kalau ada berapa," ucap Yusril.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya