Liputan6.com, Jakarta - Untuk menaiki tangga karier, kepemimpinan adalah syarat wajib. Banyak tips bahkan pelatihan mengenai cara menjadi pemimpin. Ada anggapan, untuk menjadi pemimpin, justru harus bersikap layaknya pemimpin dan menonjol agar berbeda dari 'pengikut.'
Ternyata, anggapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Kepemimpinan yang baik membutuhkan sifat sebagai pengikut, demikian laporan Harvard Business Review.
Baca Juga
Advertisement
"Kepemimpinan hanya akan efektif lewat kemampuan mereka (pemimpin) dalam menghadapi pengikut. Tanpa kepengikutan (followership), kepemimpinan (leadership) bukanlah apa-apa," tulis Harvard Business Review.
Dalam laporan yang ditulis Kim Peter, dosen psikologi organisasi dari Universitas Queenland, dan Alex Haslam, profesor psikologi dari universitas yang sama, tertulis bahwa ketimbang berusaha menonjol di antara para pengikut, para calon pemimpin lebih baik berusaha menjadi pengikut yang baik; yaitu memastikan bahwa mereka punya kemauan bekerja di dalam dan untuk kelompok.
"Orang-orang akan lebih efektif sebagai pemimpin bila sifat mereka menunjukkan bahwa mereka "salah satu dari kita" atas dasar memiliki nilai, kepedulian, dan pengalaman yang sama, serta bekerja untuk kita, dengan cara berusaha memajukan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan pribadi," tulis laporan itu.
Peters dan Haslam turut melakukan penelitian berdasarkan rekut baru anggota Royal Marines yang melakukan pelatihan elit. Mereka mencari tahu mengenai kemampuan kepemimpinan dan apakah mereka memandang mereka sebagai pemimpin alami.
Hasilnya? Ternyata mereka yang memandang dirinya sebagai pemimpin alami justru gagal meyakinkan kawan-kawan mereka mengenai itu. Sebaliknya, anggota yang memandang diri sebagai pengikut justru keluar sebagai pemimpin menurut penilaian evaluator di dalam tim.
Pemimpin yang Dekat dengan Pengikut
Menariknya, mereka yang menganggap dirinya pemimpin dipandang sebagai lebih memiliki potensi oleh komandan. Namun, para evaluator yang ditempatkan di dalam tim, dan menyaksikan langsung kapasitas anggota, melihat kepemimpinan ada pada mereka yang memandang diri sebagai pengikut.
Peters dan Haslam menyimpulkan bahwa "pemimpin" yang berjarak dari kelompok akan menjadi resep kegagalan, bukan kesuksesan.
"Hal tersebut mendorong pemimpin untuk jatuh cinta pada citra mereka sendiri dan meletakan diri mereka di atas dan terpisah dari pengikut. Dan itu adalah cara terbaik untuk membuat pengikut tidak menyukai pemimpin," tulis mereka.
Efeknya, kapasitas kepemimpinan akan turun, dan menghalangi kemauan pengikut untuk mengikuti. Alhasil organisasi akan tumbuh negatif.
Advertisement