Paceklik Panjang, Keluarga Warsem Mulai Konsumsi Tiwul

Pada musim kemarau, 50 persen warga Wanarata, Banyumas mengonsumsi Oyek alias Tiwul.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 09 Agu 2018, 06:30 WIB
Nasi tiwul alias nasi oyek, sumber kalori pengganti nari beras. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Seorang nenek tertatih mengeluarkan sejumlah tampah besar (Tampir) berisi ketela pohon alias singkong yang sudah dipotong dengan ukuran tertentu. Ia tengah menjemur bahan dasar nasi Oyek alias nasi Tiwul, sumber kalori pengganti beras.

Dia meletakkan tampah di antang-antang bambu depan dan samping rumah berbilik bambu berlantai tanah yang telah reot itu. Ada pula yang dijemur di atap rumah dengan tiang yang sudah tak lagi tegak.

Sebelum dijemur, warga Dusun Wanarata Desa Kalitapen, Purwojati, Banyumas ini merendam singkong berhari-hari. Konon, gunanya untuk melembutkan tiwul saat dikonsumsi.

Musim kemarau membuat matahari cepat terik meski hari masih pagi. Pancaran sinarnya memastikan tiwul cepat kering dan bisa cepat dikonsumsi sebagai bahan makanan utama pengganti nasi beras.

Sejak puluhan tahun lalu, sebagian warga Wanarata dikenal sebagai pengonsumsi nasi Oyek. Himpitan ekonomi membuat sebagian warga di Wanarata mengonsumi nasi oyek alias Tiwul.

Bagi mbah putri, mengonsumi nasi Oyek bukanlah hobi. Ia terpaksa makan nasi Oyek lantaran persediaan beras semakin menipis. Maklum, ia tak memiliki sawah.

Kebiasaan mengonsumi nasi oyek bagi warga Wanarata pun bukan tanpa sebab. Di dusun ini, nyaris seluruh warganya tak memiliki sawah. Sebagian besar hanya memiliki ladang yang tentu tak seproduktif sawah.

Tak berbeda dengan mbah putri yang telah lanjut usia, generasi selanjutnya pun masih bertahan dengan pola lama. Itu termasuk anak mbah putri, Warsem yang tinggal serumah dengannya. Saat tiba paceklik panjang kemarau, mereka pun mulai mengonsumsi nasi Oyek atau Tiwul.


Jatah Raskin Tak Cukup untuk Sebulan

Mbah putri tengah menjemur singkong, bahan baku oyek alias Tiwul. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Warsem tinggal di rumah sederhana dengan tiga anaknya yang masih kecil, suaminya, Misdar, serta kedua orang tuanya yang telah berusia lanjut. Misdar bekerja sebagai penderes kelapa dengan penghasilan sekitar Rp 20 ribu per hari.

Penghasilan penderes kelapa terjun bebas saat musim kemarau. Hasil sadapan berkurang yang otomatis mengurangi jumlah gula yang dihasilkan.

Tiap hari, Warsem harus memasak setidaknya 1,5 kilogram beras. Sementara, penghasilan suaminya sebagai penderes kelapa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lantaran tak cukup, tujuh anggota keluarga pun terpaksa mengonsumi nasi Oyek.

“Karena beras kan susah. Di sini kan tidak ada sawah. Kalau mau beli beras, mahal,” kata Warsem, Senin, akhir Juli 2018.

Sebenarnya keluarga Warsem mendapat jatah sekantong beras sejahtera (rastra) atau raskin dalam program perlindungan sosial dari pemerintah. Namun, lantaran tak semua warga miskin di Wanarata peroleh raskin, akhirnya mereka sepakat membagi rata jatah beras ini.

“Sehingga menerimanya hanya 6 kilogram,” Warsem menuturkan.

Puluhan tahun mengonsumsi nasi oyek membuat warga Wanarata terbiasa mengonsumi oyek. Oyek dikonsumsi sebagai makanan selingan.


50 Persen Warga Wanarata Konsumsi Oyek di Musim Kemarau

Nasi tiwul alias oyek kini banyak diburu sebagai salah satu makanan khas pedesaan yang jadi “klangenan”. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tiga kali makan sehari, nasi oyek dikonsumsi dua kali. Ada pula yang menganggapnya sebagai makanan klangenan atau hobi.

“Pagi oyek, siang nasi, malam oyek lagi,” dia menjelaskan.

Kebiasaan mengonsumsi nasi oyek ini diakui oleh Kepala Dusun Wanarata, Karto. Di wilayahnya, terdapat 450 kepala keluarga dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 2.000-an jiwa.

Sejak musim kemarau ini sekitar 50 persen warganya, terpaksa memakan nasi oyek. Sebagian sawah yang tak sebegitu luas di Wanarata hanya dimiliki segelintir warga. Sebagian besar lainnya tak memiliki sawah.

Sawah ini pun hanya sawah tadah hujan sehingga hanya bisa panen dua kali, dengan hasil panen yang jauh menurun pada musim tanam kedua, atau Sadon. Nyaris seluruh warga hanya bekerja serabutan.

“Ya makannya itu, ya kadang-kadang dampingan. Ada yang makan, selain nasi, sebagai makanan pokok, makan oyek,” kata Warto.

Dia pun menjelaskan, sebagian warga sudah menanam singkong pada musim penghujan sebagai persediaan makanan di musim kemarau. Kebanyakan menanamnya secara tumpang sari di lahan perhutani.

Ada pula yang menyimpannya dalam bentuk singkong yang sudah dikeringkan. Singkong kering siap masak ini disebut Gaplek. Dalam keadaan kering, Gaplek bisa disimpan berbulan-bulan, bahkan tahunan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya