Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo menyatakan pemerintah Indonesia telah menerima salinan surat Perwakilan Amerika Serikat (AS) untuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Swiss, kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO.
Surat tersebut pada intinya meminta otorisasi dari Badan Penyelesaian Sengketa WTO kepada AS untuk menunda pemberian konsesi tarif kepada Indonesia terkait dengan sengketa yang diadukan AS atas kebijakan restriktif yang diterapkan Indonesia dalam importasi produk hortikultura, hewan, dan produk hewan (kasus dengan nomor registrasi DS478). Buntut dari sengketa ini, AS menuntut ganti rugi dari Indonesia sebesar USD 350 juta.
Sebagaimana diketahui, pada 2015 Badan Penyelesaian Sengketa WTO membentuk panel atas permintaan AS dan Selandia Baru yang memperkarakan kebijakan impor produk hortikultura, serta hewan dan produk hewan yang diterapkan Indonesia.
"Total terdapat 18 measures yang diadukan oleh AS dan Selandia Baru sebagai inkonsisten dengan komitmen Indonesia di WTO," ujar dia di Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Baca Juga
Advertisement
Pada 22 Desember 2016, panel sengketa mengumumkan temuannya bahwa 18 measures yang diterapkan Indonesia tersebut tidak sejalan dengan prinsip dan disiplin yang disepakati di WTO dan merekomendasikan Indonesia agar melakukan penyesuaian.
Imam menyatakan, pada 17 Februari 2017 Indonesia mengajukan banding. Namun, pada 22 November 2017 Badan Banding WTO menguatkan rekomendasi dari panel sengketa bahwa Indonesia harus melakukan penyesuaian atas 18 measures yang dipermasalahkan.
"Melalui pembahasan yang cukup panjang, maka disepakati bahwa Indonesia akan melakukan penyesuaian tahap pertama selambatnya pada 22 Juli 2018 dan tahap kedua pada 22 Juni 2019," kata dia.
Meskipun langkah-langkah penyesuaian telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, lanjut Imam, dalam konsultasi para pihak yang berlangsung pada 27 Juli 2018 di Jenewa, AS menyatakan Indonesia belum cukup melakukan penyesuaian.
Penilaian ini didasarkan pada informasi yang diterima perwakilan AS untuk WTO, yaitu eksportir produk hortikultura dari AS masih mengalami kesulitan untuk mengekspor produknya ke Indonesia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Konsultasi Bilateral
Sementara konsultasi bilateral tetap berjalan, AS menggunakan haknya berdasarkan Pasal 22.2 dari WTO Dispute Settlement Understanding untuk mengamankan haknya guna menunda pemberian konsensi tarif kepada Indonesia apabila Indonesia benar-benar gagal melaksanakan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO.
“Jadi sebenarnya pada tahapan ini, AS berupaya mengamankan haknya untuk melakukan retaliasi apabila Indonesia dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya sesuai rekomendasi dari Badan Sengketa WTO," lanjut dia.
Menurut Imam, permintaan otorisasi AS ini masih akan dibahas oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang akan melakukan pertemuan pada 15 Agustus 2018 mendatang. Kalaupun Badan Penyelesaian Sengketa WTO mengabulkan permintaan otorisasi yang diajukan, masih perlu dibentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi ini.
"Jelas, angka USD 350 juta yang diajukan AS merupakan angka sepihak yang masih dapat diperdebatkan,” ungkap dia.
Karena telah melakukan penyesuaian dengan mengamendemen beberapa Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan sejalan dengan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO, kata Imam, pemerintah Indonesia akan meminta pembentukan panel kepatuhan (compliance panel) untuk menilai secara objektif apakah benar Indonesia belum melakukan penyesuaian-penyesuaian yang direkomendasikan.
"Hal ini akan kita tempuh karena sebetulnya Pemerintah telah melakukan penyesuaian sebelum 22 Juli 2018, dan pengusaha produk hortikultura, hewan dan produk hewan dari AS dan negara lainnya dapat mengekspor produk-produknya ke Indonesia,” tutur dia.
Advertisement
Konsultasi dengan AS
Untuk menyelesaikan masalah ini tanpa harus melalui langkah retaliasi, pemerintah Indonesia berencana berkonsultasi dengan AS guna menjelaskan secara lebih rinci langkah-langkah yang telah diambil Pemerintah.
"Pihak AS telah memberikan indikasi kesediaannya untuk melaksanakan konsultasi bilateral sebelum keputusan final AS diambil apakah akan melakukan retaliasi atau tidak," jelas dia.
Dalam proses litigasi di WTO, aktivasi Pasal 22.2 dari WTO Dispute Settlement Understanding merupakan masalah prosedural agar negara yang merasa dirugikan (complainant) tidak kehilangan haknya bila merasa perlu melaksanakan retaliasi.
Dibanding jumlah kasus yang ditangani oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO selama ini, langkah retaliasi ini jarang ditempuh oleh complainant karena biasanya permasalahan yang ada dapat diselesaikan melalui konsultasi bilateral.
“Tampaknya ada masalah time-lag antara kesimpulan yang diambil oleh Perwakilan AS di WTO dengan kunjungan Menteri Perdagangan Indonesia ke Washington pada 24–27 Juli 2018 lalu, yang antara lain membahas penyelesaian sengketa di WTO ini,” tandas Iman.