HEADLINE: Akhir Drama Cawapres Jokowi dan Prabowo, Sosok Baru Jadi Kejutan?

Diskursus politik beberapa pekan terakhir terfokus pada cawapres yang akan berlaga di Pilpres 2019. Drama kian seru jelang penentuan.

oleh Nafiysul QodarPutu Merta Surya PutraIka Defianti diperbarui 09 Agu 2018, 00:07 WIB
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengajak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk naik kuda di kediamannya di Hambalang, Bogor, Senin (31/10). Jokowi dan Prabowo usai melakukan pertemuan tertutup selama hampir 2 jam. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Dua hari menjelang batas masa pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden di Komisi Pemilihan Umum (KPU), drama masih belum berakhir. Jokowi dan Prabowo memang hampir bisa dipastikan kembali maju menjadi calon presiden.

Tanda tanya besar beberapa pekan terakhir justru berkutat seputar siapa sosok yang akan menjadi pendamping Prabowo dan Jokowi pada pertarungan jilid II keduanya di ajang Pilpres 2019. Hingga Rabu (8/8/2018) malam, koalisi di masing-masing kubu masih sibuk menggelar pertemuan membahas nama cawapres.

Koalisi pendukung Prabowo Subianto, misalnya, hingga Rabu malam terus menggodok nama cawapres. 

"Bukan hanya Gerindra, tapi empat partai, Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat," kata Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Habiburokhman kepada Liputan6.com, Rabu (8/8/2018).

Kubu Prabowo Subianto masih memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengkalkulasi sosok cawapres. Namun, Habiburokhman enggan mengungkapkan nama kandidat yang sedang ditimbang.

Selama ini ada tiga nama kuat yang mencuat di bursa cawapres Prabowo. Mereka adalah Ketua Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri, dan pendakwah Ustaz Abdul Somad.

Dua nama terakhir merupakan amanat Ijtima Ulama yang diselenggarakan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) beberapa waktu lalu. Hanya saja, Habiburokhman menutup rapat dinamika pembahasan yang terjadi di internal Koalisi Prabowo.

Yang jelas, ada peluang muncul nama di luar yang sering disebut-sebut selama ini. "Ada potensi out the box terjadi," kata Habiburokhman berteka-teki.

Belum jelasnya kepastian sosok cawapres Prabowo, berdampak pada persiapan teknis pendaftaran. Habiburokhman mengungkapkan, tim yang akan mengurus pendaftaran menyiapkan sejumlah skenario.

Siapa pun yang nantinya akan mendampingi Prabowo, diharapkan tak mengganggu proses pendaftaran. "Kita semua sudah siap prasyarat. Jadi kalau (cawapres) sudah diputus, kita sudah siap," katanya.

Sementara, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, keputusan siapa cawapres pendamping Prabowo akan diumumkan, Kamis (9/8/2018) pagi.

"Insyaallah nanti malam bisa diambil keputusan dan besok pagi bisa diumumkan," ujar Ahmad Muzani di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (8/8/2018).

Namun, pada Rabu malam, perselisihan diduga terjadi di kubu Prabowo Subianto. 

Politikus Partai Demokrat Andi Arief mengirim sinyal mengejutkan di detik-detik akhir pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden. Dua hari jelang batas waktu pendaftaran capres-cawapres di KPU, Demokrat disinyalir bercerai dengan koalisi Prabowo Subianto yang digawangi Partai Gerindra.

Melalui akun twitter pribadinya, Andi Arief melontarkan ciutan keras. "Malam ini kami menolak kedatangannya ke Kuningan. Bahkan keinginan dia menjelaskan lewat surat sudah tak perlu lagi," tulis Andi Arief melalui akun twitternya @AndiArief__, Rabu (8/8/2018) malam.

Dia kembali melontarkan pernyataannya. Nadanya semakin keras menyindir mantan Danjen Kopassus tersebut.

"Kemarin sore bertemu Ketum Demokrat dengan janji manis perjuangan. Belum dua puluh empat jam mentalnya jatuh."

Saat dihubungi, Andi Arief mengaku kecewa dengan sikap politik Prabowo.

"Baru tadi malam Prabowo datang dengan semangat perjuangan. Hanya hitungan jam dia berubah sikap karena uang. Besar kemungkinan kami akan tinggalkan koalisi kardus ini. Lebih baik kami konsentrasi pada pencalegan ketimbang masuk lumpur politik PAN, PKS dan Gerindra," jelasnya.

Dia semakin mempertegas sikap politik Gerindra. "Partai Demokrat tidak alami kecocokan karena Prabowo dalam menentukan cawapresnya dengan menunjuk orang yang mampu membayar PKS dan PAN. Ini bukan DNA kami," tegasnya.

Infografis bursa cawapres Jokowi dan Prabowo.

Belakangan nama Sandiaga Uno mencuat sebagai kandidat cawapres pendamping Prabowo.

Pada Rabu malam, Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut terpantau mendatangi kediaman Prabowo Subianto, Jl Kertanegara, Jakarta Selatan. Hingga berita ini diturunkan, belum jelas apakah namanya yang akan diumumkan pada Kamis pagi. 

Di kubu lainnnya, Wakil Sekjen PPP Achmad Baidowi mengatakan koalisi pendukung Jokowi telah mempersiapkan keperluan administratif pendaftaran capres dan cawapres. Ia mengindikasikan, koalisi pun belum mendapat informasi, siapa yang akan maju mendampingi Jokowi.

"Untuk kolom nama cawapres belum diisi, tinggal menunggu keputusan Jokowi akan menggandeng siapa," katanya kepada Liputan6.com, Rabu (8/8/2018). "Kejutan bergantung sudut pandang."

Jokowi sendiri mengaku sudah mengantongi nama cawapres. Namun, ia belum mau membocorkannya ke publik.

"Depannya pakai M pokoknya," ungkap Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/8/2018).

Jokowi mengaku nama cawapresnya itu sudah dikantongi sejak lama. Namun, ketika disinggung mengenai siapa nama cawapres yang akan mendampinginya, Jokowi malah menghindar.

"Muhammad Jusuf Kalla juga M. Mbak Puan juga M. Mas Airlangga juga M," kata Jokowi.


Partai-Partai Grogi

Presiden Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (foto: biro pers kepresidenan)

Direktur Saiful Mujani Research and Consulting Sirojuddin Abbas menilai, penyelenggaraan pemilu serentak punya andil membuat pemilihan presiden dan wakil presiden lebih dramatis.

Jadwal serentak ini, menurut dia, menyebabkan kerja pemenangan legislatif terkait erat dengan pemenangan eksekutif. Sumber kesulitan utama negosiasi cawapres bagi kedua kubu koalisi adalah soal dampak elektoral pasangan capres/cawapres ke partai politik.

"Partai-partai cukup grogi dengan efek ekor jas dari tokoh calon presiden atau wapres terhadap pilihan di legislatif," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/8/2018).

Abbas menilai, partai mana pun yang bisa menempatkan kadernya sebagai capres atau cawapres diyakini akan terkena efek elektoral positif. Keuntungan ini yang dinilai menggiurkan bagi parpol mana pun.

Alhasil, lanjut dia, partai-partai yang tidak terwakili sebagai capres atau cawapres membutuhkan konsesi yang sepadan. Bentuknya bisa beragam.

"Apakah dalam bentuk power sharing atau konsesi lainnya. Termasuk dukungan untuk melaksanakan kampanye," Abbas berujar.

Dari konteks sosial-politik makro, politik nasional juga tengah dipengaruhi sentimen agama. Hal ini memicu tarik-menarik di tubuh koalisi kedua kubu.

Sirojuddin memperkirakan Jokowi akan memilih pendamping dari tokoh di luar partai politik. Ia menduga sosok pilihan Jokowi merupakan orang yang punya pengalaman politik, pemerintahan dan jaringan luas dengan kelompok Islam.

Ada satu nama yang memenuhi kriteria itu. "Yang terkuat sejauh ini Mahfud MD, Kiai Maruf Amin, Said Aqil. Yang memiliki pengalaman lengkap di eksekutif, yudikatif, dan legislatif hanya Pak Mahfud," ungkapnya.

Adapula nama Moeldoko, Sri Mulyani dan Chairul Tanjung (CT). Ketiganya, kata Sirojuddin, punya rekam jejak di pemerintahan dan kompeten. CT juga dikenal diterima kalangan Muslim. Moeldoko juga diterima publik. Sementara, menurut dia, Sri Mulyani masih dihantui problem kasus Bank Century

Sedangkan di Kubu Prabowo, Sirojuddin melihat negosiasi Demokrat dengan PKS menjadi faktor sentral alotnya pembahasan. Yang jelas, dinamika koalisi kubu Jokowi dan Prabowo punya karakteristik yang berbeda. 

 

 


Beda Kubu Prabowo dan Jokowi

Meski sama-sama belum mengumumkan nama cawapres, ada perbedaan besar antara Koalisi Prabowo dan Jokowi. Dinamika koalisi Jokowi relatif lebih bisa dikelola.

Semua anggota koalisi sepakat menyerahkan putusan akhir di tangan Jokowi. Cuma PKB yang belum 'menyerah' menyorongkan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin agar dilirik Jokowi menjadi cawapres.

Manuver paling anyar ketika 95 kiai Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua Umum PBNU Kiai Said Agil Siraj bertemu Sabtu (4/8/2018) malam. Mereka sepakat mendorong Cak Imin sebagai cawapres Jokowi pada 2019.

Tak cuma itu, mereka juga memberi tenggat waktu dua hari bagi Jokowi untuk memenuhinya. "Memberi deadline kepada Jokowi dalam dua hari," kata Mustayar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Najib Abdul Qodir kepada wartawan, Senin (6/8/2018).

Sementara di kubu Prabowo, kompleksitas dinamikanya lebih rumit. Partai Demokrat memang tak terlalu ngotot mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai cawapres.

Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan menyerahkan semua keputusan di tangan Prabowo. Hal itu ia sampaikan usai pertemuan kedua dirinya dengan Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (30/7/2018).

Justru PKS yang masih ngotot mendorong sembilan nama kandidat cawapres yang sebelumnya pernah ditawarkan ke Prabowo. Di antara sembilan nama itu terdapat Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Al Jufri.

"Ini berarti bahwa keputusan sembilan nama itu tidak mati, dia tetap hidup. Cuma antara keputusan Majelis Syuro yang lalu dengan ijtima ulama ada titik temu pada titik Ustaz Salim Segaf Al Jufri. Nah disitulah sekarang fokus kita," kata Presiden PKS Sohibul Iman, Selasa (7/8/2018) malam.

Bagi Koalisi Prabowo, masalah cawapres memang makin rumit karena masuknya rekomendasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U). Berdasarkan hasil Ijtima Ulama yang mereka selenggarakan, muncul nama Salim Segaf al Jufri.

Hal ini menambah kepercayaan diri PKS. Menurut Sohibul Iman, PKS akan mengawal hasil rekomendasi Ijtima Ulama itu.

Realita koalisi Kubu Prabowo lantas membuat PAN was-was. Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto menegaskan partainya tak setuju Prabowo memilih cawapres dari kalangan partai politik.

"Kalau Pak Prabowo ngambil Salim Segaf misalnya, ya kami tidak setuju, atau ngambil AHY pasti kami tidak setuju. Itu sudah hampir pendapat umum dari seluruh provinsi (DPW)," kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/8/2018).

Bukan tak mungkin PAN berpikir ulang untuk mendukung Prabowo. Karena itu, partai menawarkan jalan tengah.

Prabowo, menurut Yandri, harus mengambil cawapres dari kalangan nonpartai. Nama Ustaz Abdul Somad menjadi pemecah kebuntuan.

Ulama yang tengah populer itu kebetulan juga menjadi cawapres yang direkomendasikan Ijtima Ulama GNPF untuk mendampingi Prabowo--selain Salim Segaf Al Jufri.

Persoalannya, Abdul Somad dalam beberapa kali kesempatan menyatakan tak berminat maju menjadi cawapres. Dengan kondisi itu, pilihan Prabowo makin terbatas.

Bila ego partai masih dikedepankan, bukan tak mungkin koalisi layu sebelum terkembang. Kekhawatiran itu sudah diungkapkan Yandi Susanto.

"Kalau semuanya ngotot masing-masing mengajukan nama, deadlock namanya," ungkapnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya