Liputan6.com, Jakarta Selain Jaws yang melegenda dan waralaba Sharknado yang jadi cult dalam film kelas B, kini hadir lagi sebuah film yang menghadirkan teror hiu: The Meg. Yang ‘istimewa’ hiu dalam film The Meg bukan hiu biasa, melainkan hiu purba raksasa megalodon yang selama ini dikira telah punah.
The Meg dibuka dengan misi sebuah tim kecil yang menyelami Palung Laut Mariana, titik terendah di bumi, yang kedalamannya tak diketahui manusia.
Baca Juga
Advertisement
Tim riset yang menumpang sebuah kapal selam tersebut berhasil menembus termoklin di palung laut tersebut, dan menemukan sebuah dunia bawah laut yang selama ini belum tereksplorasi.
Hanya saja di tengah perjalanan, mereka diserang oleh sesosok monster misterius. Bahkan mereka tak bisa kembali ke permukaan. Di stasiun penelitian, kepala ilmuwan Zhang (Winston Chao) dan pemimpin misi Mac (Cliff Curtis), terpaksa menghubungi Jonas Taylor (Jason Statham).
Dicap Gila
Jonas, adalah penyelam handal yang memiliki pengalaman buruk di masa lalunya. Dalam sebuah misi yang memakan beberapa korban nyawa, ia mengaku kapal selamnya diserang oleh sebuah monster raksasa. Klaim ini, membuatnya dicap sebagai orang gila.
Permintaan Mac dan Zhang membuat Jonas berpikir, apakah insiden yang ia alami dulu ada kaitannya dengan kejadian ini?
Advertisement
Penuh Ketegangan
Ketegangan, jelas menjadi satu sajian utama dalam The Meg. Sejak menit-menit awal, film garapan sutradara Jon Turteltaub ini memang telah menampilkan teror sang hiu purba. Mulai dari visualisasi binatang raksasa ini hingga jump scare di sejumlah bagian.
Salah satu kekuatan film ini adalah dinamika para karakternya yang dibuat menarik. Terutama para karakter pendukung seperti tokoh si gadis cilik pemberani Meiying, juga (Sophia Cai) dan operator bermulut besar, DJ (Page Kennedy). Adegan yang menampilkan keduanya, kerap mengundang senyum dan tawa penonton.
Film Ringan
Hanya saja, plot cerita ini, terutama di sejumlah adegan kunci, terasa sangat dipaksakan. Salah satunya, soal getolnya sang hiu dalam memburu mangsanya. Begitu pula dengan adegan laga dalam film ini. Termasuk soal tujuan riset ini, yang bisa dibilang tak begitu jelas, berbeda dengan alasan lebih jelas yang disertakan dalam novel yang menjadi basis film ini, Meg: A Novel of Deep Terror, yang ditulis oleh Steve Alten.
Tapi The Meg memang tampaknya bukan dimaksudkan untuk membuat otak penonton bekerja. Layaknya makanan, film ini bisa diibaratkan makanan ringan, ya popcorn-lah. Bukan sesuatu yang mengenyangkan, tapi boleh disantap kala iseng untuk mengisi waktu luang.
Advertisement