HEADLINE: Ma'ruf Amin Vs Sandiaga, Siapa Cawapres Paling Mendongkrak Suara?

Akhirnya, ada dua pasangan calon yang akan mendaftarkan diri ke KPU Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga.

oleh Hanz Jimenez SalimLuqman RimadiMoch Harun SyahNafiysul QodarPutu Merta Surya PutraNanda Perdana PutraDelvira Hutabarat diperbarui 10 Agu 2018, 03:59 WIB
Presiden RI, Joko Widodo bersama pimpinan partai politik pendukung saat mendeklarasikan Calon Cawapres di Pilpres 2019, Jakarta, Kamis (9/8). Jokowi resmi menggandeng Ma'ruf Amin sebagai cawapres di Pilpres 2019. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Penentuan bakal cawapres yang mendampingi Jokowi dan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 berlangsung penuh drama. 

Kejutan muncul di kubu Jokowi. Mahfud MD yang awalnya disebut-sebut akan jadi bakal calon RI-2 justru namanya tak diumumkan dalam deklarasi. Koalisi Indonesia Kerja memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma'ruf Amin sebagai pendamping Joko Widodo.

Publik pun kaget, apalagi Mahfud MD yang sebelumnya mengatakan, adalah panggilan sejarah yang membuatnya terpilih menjadi pendamping Jokowi. 

Namun, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengaku tak sakit hati. "Saya tidak kecewa tetapi memang kaget, tetapi sekarang sudah selesai kagetnya dan saya katakan Pak Jokowi enggak usah merasa bersalah atau apa," kata Mahfud di MMD Institut, Jalan Kramat VI Nomor 18, Jakarta Pusat, Kamis 9 Agustus 2018. 

Sementara itu di kubu Prabowo. Meski Sandiaga Uno sudah santer disebut sebagai bakal cawapres Prabowo sejak Rabu malam, salah satunya lewat cuitan kontroversial Wasekjen Demokrat Andi Arief, namun nama Wagub DKI Jakarta itu tak kunjung dideklarasikan. 

Pembicaraan berlangsung alot. Pada Kamis malam, PAN menyebut, pasangan Prabowo-Sandiaga belum disepakati koalisi dan menyodorkan dua nama, Zulkifli Hasan dan Ustaz Abdul Somad (UAS). PKS bahkan sempat melontarkan isu poros ketiga. 

Jelang tengah malam, kesepakatan akhirnya dicapai. Gerindra, PKS, dan PAN mengusung pasangan Prabowo-Sandiaga, tanpa 'restu' Demokrat. 

Kubu Susilo Bambang Yudhoyono menarik diri dari koalisi, meski sebelum deklarasi, Prabowo sempat mendatangi kediaman SBY di Mega Kuningan untuk memberikan penjelasan.

Lantas, ke mana partai berlambang mercy itu akan melabuhkan dukungannya?  Menurut Andi Arief, sikap Demokrat akan diputuskan pada Jumat pagi, 10 Agustus 2018. 

Pada akhirnya, hanya ada dua pasangan calon yang akan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga. Wacana poros ketiga nyaris mustahil diwujudkan.

Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin didukung sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja, yakni PDIP, Golkar, Partai Nasdem, Partai Hanura, PKB, PPP, PSI, Perindo dan PKPI.

Dalam pengumuman yang dilakukan di Restoran Plataran Menteng, Jakarta Pusat, Kamis petang pukul 18.20 WIB, Jokowi membeberkan alasannya memilih ulama berusia 75 tahun itu. 

Menurutnya, Ma'ruf Amin dipilih karena dinilai sebagai sosok tokoh agama yang bijaksana. Sang ulama juga memiliki pengalaman mumpuni dalam dunia politik sebab pernah menjadi anggota DPRD, DPR RI, MPR RI, dan Watimpres. Dia juga menjabat sebagai Rais Aam PBNU serta menduduki posisi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Presiden RI, Joko Widodo (kedua kiri) usai melakukan pertemuan dengan pimpinan partai politik pendukung di Pilpres 2019, Jakarta, Kamis (9/8). Pertemuan sekaligus menentukan Cawapres pendamping Jokowi di Pilpres 2019. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

"Dalam kaitannya dengan kebinekaan, profesor Ma'ruf Amin juga menjabat sebagai Dewan pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila)," ujar Jokowi.

Jokowi mengatakan, antara dia dan Ma'ruf Amin ini saling melengkapi karena mewakili golongan nasionalis dan religius. 

Sementara, Prabowo juga punya alasan menjatuhkan pilihan pada sosok muda yang berlatar belakang bisnis.

Prabowo mengatakan, Sandi merupakan pilihan yang terbaik dari yang ada. "Beliau juga berkorban dan mengundurkan diri dari jabatan wagub yang susah payah direbut. Demi mengabdi kepada bangsa dan negara," kata dia.

Prabowo juga mengatakan, dia meminta Sandiaga Uno keluar dari keanggotaan Partai Gerindra. "Beliau mundur dari Gerindra untuk bisa diterima sebagai calon independen," kata mantan Danjen Kopassus itu.

Politisi senior PKS Salim Assegaf memberikan keterangan pers saat deklarasi capres cawapres Prabowo - Sandiaga di Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8). Koalisi Gerindra, PAN dan PKS membawa Prabowo-Sandiaga ke Pilpres 2019. (Merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono sebelum deklarasi mengatakan, Prabowo-Sandiaga merupakan pasangan yang serasi. Sebab, Prabowo mewakili Jawa, sedangkan Sandiaga luar Jawa, yakni Riau.

"Sandi pasangan yang paling diinginkan oleh masyarakat Indonesia," ucap Arief. 

Bagi Jokowi dan Prabowo, Pilpres 2019 adalah rematch alias pertarungan ulang. Keduanya pernah bersaing dalam Pilpres 2014 dengan pasangan masing-masing, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta Rajasa.

Seberapa besar pengaruh Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019?  

 

Infografis Headline Jokowi-Ma'ruf Amin Vs Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. (Liputan6.com/Triyasni)

Pengamat politik dari  Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC), Dimas Okky Nugroho mengatakan, sosok cawapres akan sangat menentukan dalam kemenangan di Pilpres 2019. Oleh karena itu, menurut dia, cawapres harus mampu menjadi energi baru bagi perjuangan pada pesta demokrasi tersebut.

"Kecuali tiba-tiba di menit-menit akhir ini muncul nama dan pasangan baru yang dapat membuat wajah pertarungan menjadi berbeda dan penuh kejutan," kata Dimas kepada Liputan6.com, Kamis 9 Agustus 2018.

Dimas menilai, terpilihnya Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi menunjukkan kekhawatiran terhadap munculnya hoaks dan isu agama dalam Pilpres 2019.

Ma'ruf Amin, kata dia, sebagai Ketua MUI dan Rais Aam PBNU bisa membantu Jokowi untuk mewujudkan agenda besarnya dalam pembangunan ekonomi umat sekaligus mengatasi kesenjangan sosial serta melawan radikalisme.

"Kenyataan bahwa usia Ma'ruf Amin yang tidak muda lagi dapat diantisipasi dengan strategi Jokowi merekrut anak-anak muda sebagai tim sukses dan dalam kabinet pemerintahan mereka mendatang jika berhasil memenangkan pemilu presiden 2019," kata dia.

Dimas mengatakan, tantangannya adalah sejauh mana pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin tetap menjaga konsolidasi partai pendukung dan relawannya.

Mengenai pasangan Prabowo-Sandiaga Uno, menurut Dimas, masalah yang mereka hadapi adalah seberapa mampu mendapatkan dorongan dari basis-basis sosial yang menjadi penentu politik dalam sejarah pemilu Indonesia. 

Dia mengatakan, basis pemilih Islam, baik itu NU dan Muhammadiyah, basis tradisional maupun urban, akan menjadi tantangan bagi pasangan ini.

"Selain tentunya sebagai dua calon yang berasal dari partai yang sama, sejauh mana mereka mampu meyakinkan konstituen partai koalisi lainnya agar secara yakin dapat menjadi mesin politik yang efektif bagi keduanya," kata dia.

Dimas menilai, sejak awal ambisi politik Sandiaga Uno adalah menjadi capres atau cawapres RI.

"Dengan karakter ini, ia tak hanya menyalip Anies Baswedan yang sejak awal justru banyak dibicarakan akan maju nyapres, tapi juga AHY yang awalnya diperkirakan akan bersanding dengan Prabowo," kata dia. 

Namun, Dimas mengatakan, Sandi juga punya kelebihan. "Ia cukup mampu mengambil perhatian kalangan muda yang dalam Pemilu 2019 nanti akan menjadi pemilih terbesar secara populasi."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Sandiaga Lebih Mengejutkan?

Presiden PKS, Sohibul Iman memberikan keterangan pers saat deklarasi capres cawapres Prabowo - Sandiaga di Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8). Koalisi Gerindra, PAN dan PKS membawa Prabowo-Sandiaga ke Pilpres 2019. (Merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Dari sekitar 10 nama yang dikantongi, Jokowi sejatinya telah memberikan petujuk soal siapa yang bakal mendampinginya dalam Pilpres 2019. 

"Depannya pakai M pokoknya," ungkap Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 8 Agustus 2018. 

Siapa gerangan sosok berinisial M yang jadi pilihan Jokowi dan koalisi pendukungnya pun jadi misteri. Nama Mahfud MD sempat digadang-gadang. Saat dikonfirmasi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga membenarkan soal keterpilihan dirinya.

Namun, pada Kamis petang muncul cuitan Sekjen PKB Abdul Kadir Karding, di akun Twitternya, @Kadir_Karding.

Tentu saja, hal tersebut sangat mengejutkan. Meski demikian, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai, munculnya nama Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi merupakan kejutan kecil.

Sebab, menurut dia, nama Ma'ruf Amin memang masuk dalam bursa cawapres Jokowi selain Mahfud MD.

"Jadi ini siapa yang dipilih tergantung dinamika, masukan masukan ormas dan dari partai politik. Kita lihat Mahfud MD salah satu calon, tapi masukan yang ada itu lebih mengarah ke Pak Ma'ruf," kata Qodari kepada Liputan6.com.

Jokowi genggam tangan KH Ma'ruf Amin. (Instagram/Jokowi)

Dia mengatakan, karakter Mahfud MD sebenarnya lebih cocok dan disenangi Jokowi. Sebab, berdasarkan pengalaman Jokowi memimpin di Solo dan DKI, dia menyukai sosok yang tahan banting, karakter yang dimiliki Mahfud MD.

"Tapi parpol punya perhitungan sendiri. Karena pertimbangan besarnya pengaruh isu SARA di 2019, maka di masa yang akan datang diambillah Pak Ma'ruf Amin jadi cawapres. Jadi NU Muhammadiyah juga bisa gabung di MUI," kata dia.

Diharapkan, dengan sosok Ma'ruf Amin, isu SARA teredam. 

Qodari menilai, parpol politik pengusung Jokowi juga merasa lebih aman karena Ma'ruf yang merupakan tokoh senior dan tidak berambisi untuk maju lagi di Pilpres 2024. Hal ini seperti ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih Boediono sebagai wapresnya.

Dia pun mengatakan, Ma'ruf tetap pilihan terbaik. Apalagi dari segi kewilayahan, Ma'ruf Amin berasal dari Banten.

"Jokowi dari Jateng, dia lemah di Jawa bagian barat. Ma'ruf dari Banten maka diharapkan akan bisa mendapatkan dukungan besar," kata dia.

Qodari mengatakan, peran wapres sangat penting secara elektoral sehingga Ma'ruf Amin dimuncul oleh kubu Jokowi.

"Pada 2014 yang menonjol faktor kewilayahan. Jokowi mengambil JK untuk meraih dukungan dari timur melawan Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa yang dari wilayah barat. Kalau sekarang adalah isunya keumatan dan keagamaan. Jadi pilihannya bukan lagi regional tapi sentimen keagamaan," kata dia.

Sementara, Qodari menilai, munculnya nama Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto adalah 'kecelakaan politik'.

Cawapres Sandiaga Uno memberikan keterangan pers saat deklarasi capres-cawapres di Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8). Koalisi Gerindra, PAN dan PKS membawa Prabowo-Sandiaga ke Pilpres 2019. (Merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebab, ternyata sulit sekali menemukan cawapres yang bisa diterima semua kalangan partai di koalisi Prabowo.

"Ujungnya ke Sandi. Ini pilihan aneh sekali karena belum pernah kejadian, pasangan capres dan cawapres datang dari satu parpol. Sandiaga enggak pernah dibicarakan. Kalau secara pakem normal ini aneh, sama-sama Gerindra," kata dia.

Namun, bisa jadi, munculnya nama Sandiaga karena menjadi titik temu dari parpol koalisi.

"Kedua, mungkin ada barter politik juga. Kalau betul mundur jadi wakil gubernur, wakil gubernur DKI akan di kasih ke PKS, Mardani Ali Sera. Ada info lagi bahwa PAN ada tuntutan supaya Sandiaga Uno menjadi PAN. Sehingga ada insentif dari PAN," kata dia.

Qodari menambahkan, ada dua tantangan bila Sandiaga yang terpilih sebagai cawapres Prabowo. Pertama adalah bagaimana mesin politik kerja maksimal. Karena PKS akan berbeda performanya, kalau calon wapres dari kadernya dan hasil ijtimak ulama, Salim Segaf Al Jufri.

Kedua, bagaimana mendapat segmen suara yang lebih besar. Karena di Pilpres seseorang untuk maju harus mendapat dukungan luas.


Demokrat-Gerindra, Cerai atau Rujuk?

Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono berjabat tangan menyambut kedatangan Ketua Umum Gerinda, Prabowo Subianto di kediaman SBY di Cikeas, Bogor pada 27 Juli 2017. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Senin 30 Juli 2018 menjadi momentum koalisi antara Parta Gerindra dan Partai Demokrat. Kata sepakat pun dihasilkan dari pertemuan dua petingginya, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto.

"Kita sepakat melaksanakan kerja sama politik yang tentunya terwujud dalam koalisi," kata Prabowo dalam keterangan pers bersama SBY di rumahnya di di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kala itu, Prabowo menegaskan, SBY tak menuntut nama tertentu untuk dijadikan cawapresnya.

Namun, kemesraan itu tak berlangsung selamanya. Bibit-bibit perselisihan mencuat pada Rabu malam, lewat cuitan Wasekjen Demokrat Andi Arief, yang memberikan sejumlah atribut pada Prabowo Subianto, dari 'jenderal kardus' hingga 'chicken'.

Tak terima pimpinannya disebut 'jenderal kardus', Gerindra membalas. Dan, muncullah istilah 'anak boncel'. 

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono berpendapat peluang AHY mendampingi Prabowo kecil karena belum memiliki pengalaman di pemerintahan.

"Dia belum pernah punya pengalaman dalam mengurus negeri ini. Belum punya jabatan dalam pemerintahan. Baru tentara biasa, jadi kepala kodim saja belum pernah," ucap Arief, Sabtu, 14 Juli 2018.

"Jangan main-main ini mimpin negara, masa sama anak begitu. Misalnya Prabowo terpilih, AHY jadi cawapres-lah gimana. Masa anak boncel gitu ngurus negeri. Jadi, ancur negeri ini," ujarnya.

Arief Pouyono juga mengatakan, Demokrat harus berkaca karena partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut yang sering terima "kardus".

"Wah, dia mah salah. Gini loh, kalau jenderal kardus itu jenderal yang mimpin partai politik sering terima kardus. Kalau Prabowo itu jenderal yang suka keluar duit," kata Arief.

Dia lantas menyindir kasus korupsi yang banyak membelit kader Demokrat, terutama dalam kasus korupsi wisma atlet di Hambalang.

Andi Arief juga menuding Sandiaga Uno memberikan mahar Rp 500 miliar untuk PAN dan PKS untuk melancarkan jalannya maju sebagai cawapres Prabowo.

Saat dimintai konfirmasi, Sandiaga mengelus dada dan enggan berkomentar. "Sudah ya," kata dia. Sementara, PAN dan PKS berencana memperkarakan Andi Arief terkait komentar tersebut. 

Andi Arief juga menuding ada upaya Sandiaga Uno untuk menggulingkan Prabowo. Belum ada respons dari Wagub DKI Jakarta non-aktif itu terkait isu ini.

Meski perang kata-kata terjadi sejak Rabu malam, namun kedua elite partai terus menjalin komunikasi. Bahkan, jelang deklarasi Prabowo sempat menyambangi kediaman SBY di Mega Kuningan. 

Dialog terjalin, namun tanpa kesepakatan. Prabowo kukuh mengajukan Sandiaga Uno, sementara SBY menyodorkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pasangan Prabowo-Sandiaga hanya didukung tiga partai, PAN, PKS, dan Gerindra, tanpa Demokrat.

Demokrat akan menentukan sikapnya pada Jumat 10 Agustus 2018, sebelum pukul 09.00: merapat ke kubu Jokowi atau rujuk dengan Prabowo. 

"Partai Demokrat besok pagi akan menyatakan sikap terhadap kelanjutan dalam koalisi ini karena menurut aturan tidak boleh netral," kata Andi Arief dalam akun Twitternya, Kamis malam, 9 Agustus 2018.

Sementara itu, Kepala Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia, Sutopo Purwo Nugroho meminta perhatian publik tidak terpusat hanya pada politik.

"Siapapun capres dan cawapresnya. Masyarakat Lombok perlu bantuan terus," kata dia dalam akun Twitternya @Sutopo-PN.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya