Liputan6.com, Palembang - Seorang dokter terdakwa kasus aborsi di Palembang dituntut Jaksa Penuntut Umum hukuman enam tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Purnama Sofyan membacakan surat tuntutan di ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis, 9 Agustus 2018, dengan disaksikan terdakwa dan penasihat hukumnya.
Dalam surat tuntutan dijelaskan beberapa hal yang memberatkan yakni perbuatan terdakwa tidak sesuai dengan sumpah kode etik sebagai dokter. Selain itu, di dalam persidangan, terdakwa mengakui telah menjalani praktek dokter sejak 1972 sehingga tidak ingat lagi berapa kali melakukan praktik aborsi.
Terdakwa didakwa dengan Pasal 77A Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa dr Wim Ghazali selama enam tahun dikurangi selama terdakwa menjalani masa tahanan," kata dia, dilansir Antara.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin praktik terdakwa sebagai dokter dan dokter gigi atas nama dr Wim Ghazali yang ditandatangani dan dikeluarkan atas nama Wali Kota Palembang dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Usai mendengarkan tuntutan dari JPU Purnama Sofyan, majelis hakim yang diketuai Yohanes menunda jalannya persidangan hingga pekan depan dengan agenda pembacaan pledoi dari kuasa hukum terdakwa.
Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Sumsel Reda Mantovani menerangkan, hukuman tambahan selain pidana penjara terhadap terdakwa dr Wim Ghazali berupa pencabutan izin praktik merupakan tanda keseriusan Kejaksaan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku aborsi.
"Artinya, Kejaksaan atau PU telah berupaya melihat fakta-fakta di dalam persidangan sehingga hukuman tambahan berupa pencabutan izin praktek kedokteran setelah terdakwa selesai menjalani pidana penjara," jata dia.
Awal Mula Kasus
Dalam dakwaan JPU sebelumnya, perbuatan terdakwa bermula pada 5 Desember 2017 sekitar pukul 18.00 WIB, saat terdakwa sedang praktek di Yayasan Dr. Muhammad Ali Lantai 2 di Jalan Sudirman No. 102, Palembang.
Kemudian, Nurmiyati alias Mia binti Jon Hendri datang (penuntutan dilakukan terpisah) sebagai pasien terdakwa. Saat itu, ia mengaku hamil dan ingin menggugurkan kandungannya. Keinginan Mia disanggupi dokter itu dengan tarif Rp 2,3 juta.
Setelah bersepakat, terdakwa memeriksa Nurmiyati dan dinyatakan sehat atau bisa dilakukan aborsi. Lantaran kandungan berusia kurang lebih satu bulan, dr Wim Ghazali hanya memberikan suntikan dan obat diminum.
Lalu, terdakwa mengatakan bahwa dengan suntikan dan obat-obatan yang diberikan itu akan mengeluarkan gumpalan darah atau janin melalui alat kelamin Nurmiyati. Namun sampai keesokan harinya belum ada gumpalan darah, Mia kembali menjumpai terdakwa.
Pada 6 Desember 2017, sekitar pukul 17.30 WIB, Mia kembali mendatangi tempat praktik dr. Wim. Ia mengaku telah mengonsumsi semua obat, tetapi darah yang keluar hanya sedikit.
Lalu, terdakwa memeriksa dan membenarkan bahwa janin masih ada. Kemudian, ia menyuntikkan kembali vitamin, namun sebelumnya terdakwa meminta Nurmiyati untuk buang air kecil.
Saat itulah, anggota kepolisian dari Polda Sumsel yang di antaranya Beben Bentar Hery Sutrisno, M. Dwi Satria Pahlevi, dan Daniel Nataldo Lubis, langsung mengamankan terdakwa dan pasiennyayang sedang berusaha menggugurkan kandungan.
Berdasarkan keterangan Ahli M Asrul, Apoteker yang merupakan Ketua Ikatan Apoteker Indonesia, menyatakan bahwa obat Cytosol Misoprostol merupakan obat tukak lambung yang termasuk kategori obat keras yang digunakan untuk orang yang sakit maag.
Obat itu tidak boleh dikonsumsi oleh seorang ibu hamil karena memiliki kontra indikasi membuat keguguran meskipun dengan dosis terapi satu tablet saja.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement