Liputan6.com, Oslo - Ekeberg Primary School di Oslo, Norwegia, menolak untuk memperpanjang kontrak seorang guru honorer karena menolak berjabat tangan dengan rekan-rekan perempuannya. Pria beragama Islam itu menyebut alasannya untuk tidak bersalaman dengan teman wanitanya karena ia adalah seorang Muslim.
Keyakinannya ini mengajarkannya agar tidak melakukan kontak fisik dengan lawan jenis secara langsung lantaran dikhawatirkan akan timbul "godaan", demikian diberitakan oleh surat kabar lokal Dagsavisen.
Advertisement
Menurut keterangan Kepala Sekolah, Bente Alfheim, pria itu telah memberitahu pihak sekolah tentang agama yang dianutnya sebelum diterima bekerja sebagai tenaga pengajar tambahan. Meski demikian, staf sekolah telah menjelaskan bahwa mereka tidak menerima praktik "tidak berjabat tangan dengan wanita".
"Para guru perempuan kesal hanya karena ia menolak bersalaman dengan mereka," ucap Alfheim.
"Kami selalu menegaskan bahwa hal itu adalah sebuah masalah, kami tidak pernah mengatakan kami menerimanya. Namun demikian, kami memberinya kesempatan untuk mempekerjakannya," kata Alfheim kepada radio Norwegia, NRK, yang dikutip Sputnik, Kamis 9 Agustus 2018.
Di satu sisi, guru pria itu menolak anggapan yang menyebut penolakannya merupakan bentuk tidak menghormati wanita. Ia menekankan, sikap tersebut harus dilakukannya karena ia mengikuti ajaran nabi.
Kasus ini memicu reaksi polarisasi di masyarakat. Beberapa politisi mendukung keputusan sekolah-sekolah di Norwegia untuk memecat gurunya yang beragama Islam karena dianggap mendiskriminasi perempuan.
Pemimpin Dewan Kota Oslo, Raymond Johansen dari Partai Buruh, membela keputusan sekolah, dengan alasan bahwa penolakan untuk berjabat tangan dengan lawan jenis seharusnya tidak terjadi di Oslo.
"Anda tidak boleh menolak uluran tangan orang lain yang mengajak bersalaman, karena ini dianggap tidak sopen. Terlebih Anda membawa nama agama," tandas Johansen.
Namun, yang lain berpendapat bahwa pemecatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti-Diskriminasi.
"Kami memiliki kebebasan beragama di Norwegia," kata Akhenaton Oddvar de Leon, pemimpin Organisasi Melawan Diskriminasi Publik (Organization Against Public Discrimination). "Orang-orang berkata bahwa Anda tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan jika agama yang Anda anut menjadi hambatan untuk pekerjaan itu sendiri, tetapi kasus ini seharusnya tidak terjadi di Oslo," sebutnya.
De Leon juga berkaca pada kasus serupa yang dialami oleh sang guru itu, ketika pengacara Metne Hodne dijatuhi hukuman denda karena menolak melayani kliennya yang Muslim dan berjilbab.
Hodne kemudian mengajukan gugatan atas pencemaran nama baik, tetapi ia kalah.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Bukan Budaya di Norwegia
Ombudsman Urusan Kesetaraan dan Non-Diskriminasi (Equality and Non-Discrimination Ombudsperson) Hanne Bjurstrøm mengatakan bahwa masyarakat harus bisa lebih terbuka dalam menyikapi penolakan tersebut.
"Tentu saja, Anda harus memperlakukan kolega Anda dengan hormat. Ada banyak cara untuk melakukannya selain berjabat tangan. Misalnya, dengan menatap matanya dan mengangguk," Bjurstrøm mengatakan kepada surat kabar Vårt Land.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa menolak berjabat tangan dengan teman, orang tua dan anak-anak adalah sesuatu yang berseberangan dengan budaya di Norwegia.
Kasus paling menonjol adalah ketika anggota senior dari Partai Hijau Swedia (Swedish Green Party) Yasri Khan harus mengundurkan diri menyusul penolakannya untuk bersalaman dengan seorang wartawati usai ia diwawancara.
Advertisement