Kasihan Nelayan Cilacap, Harga Ubur-Ubur Lebih Murah dari Kerupuk

Harga ubur-ubur di Cilacap hanya Rp 600 per kilogram. Akhir dasarian pertama Agustus 2018, musim ubur-ubur mencapai puncaknya.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 11 Agu 2018, 04:00 WIB
Nelayan ubur-ubur di Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Tarmuji/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Musim ubur-ubur yang tiba bersamaan dengan berembusnya angin timuran awalnya menjadi pelipur bagi nelayan perairan selatan Cilacap, Jawa Tengah usai berbulan-bulan melaut dengan diliputi kekhawatiran.

Sejak Mei hingga Juli 2018 lalu, angin kencang, cuaca buruk dan gelombang tinggi datang silih berganti. Sepanjang waktu, banyak nelayan yang enggan melaut. Mereka mengkhawatirkan keselamatannya.

Akhir dasarian pertama bulan Agustus 2018, musim ubur-ubur mencapai puncaknya. Harapan mendulang rupiah pun membuncah di kalangan nelayan.

Bagaimana tidak, hanya dengan perahu berukuran kecil, di bawah lima groos ton, nelayan bisa peroleh satu ton ubur-ubur segar. Seringkali, mereka kembali melaut antara dua hingga tiga kali. Dalam sehari, tiap perahu bisa menangkap antara 1-4 ton ubur-ubur.

Ubur-ubur pun melimpah ruah. Di sisi lain, pengepul atau tengkulak yang menerima ubur-ubur jumlahnya terbatas. Imbasnya, harga ubur-ubur jatuh.

Mula-mula, harga ubur-ubur di awal musim panen Rp 700 per kilogram. Nelayan pun berharap harga akan semakin tinggi seiring banyaknya pengusaha ubur-ubur yang buka usaha di Cilacap.

Namun, harapan tinggal harapan. Harga ubur-ubur justru semakin terpuruk. Harga satu kilogram ubur-ubur tak lebih dari satu kerupuk di warung-warung.

"Rp 600 per kilogram," Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Tarmuji, menuturkan kepada Liputan6.com, Jumat, 10 Agustus 2018.

Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, ubur-ubur berkisar Rp 1.000 per kilogram dengan harga tertinggi mencapai Rp 1.200 per kilogram. Tangkapan ubur-ubur yang tak seimbang dengan jumah pengusaha menyebabkan ubur-ubur turun drastis.


Pengusaha Ubur-Ubur Terkendala Lokasi Pengolahan

Suasana di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sebab, jumlah nelayan di Cilacap mencapai belasan ribu orang. Sebagian besar adalah nelayan perahu kecil yang jelas tak mau ketinggalan menangkap ubur-ubur.

"Kalau mungkin ada rejeki bagus, jam 9 pagi sudah dapat 1 ton ya balik, menyetorkan ubur-ubur dulu, ada yang kembali lagi kalau masih ada waktunya, begitu. Ini sedang banyak-banyaknya ubur-uburnya," ucapnya.

Imbas melimpahnya ubur-ubur, pengusaha hanya sesekali menerima ubur-ubur. Biasanya, mereka mengumpulkan ubur-ubur selama dua hari. Setelah itu, tutup.

Sebab, pengusaha pun terkendala semakin minimnya lokasi pengolahan ubur-ubur. Lokasi pengolahan itu digunakan untuk membersihkan ubur-ubur dan mengeringkannya sebelum diekspor ke Jepang dan Tiongkok.

"Dibuang kepalanya, jadi limbah. Bau sekali," dia menerangkan.

Tarmuji mengungkapkan, saat ini banyak lokasi yang semula jadi tempat pengolahan ubur-ubur ditutup. Limbah menjadi pangkal soalnya. Masyarakat pun menolak tempat pengolahan ubur-ubur yang jadi biang pencemaran.

Nelayan pun mesti menyesuaikan dengan kebutuhan pengepul. Tatkala tengkulak tutup, mereka libur melaut. Ada pula yang memilih menangkap ikan untuk mengisi waktu luang di sela tak menangkap ubur-ubur.

"Musim ubur-ubur biasanya tiga bulan. Ini sekarang sedang banyak-banyaknya," dia menambahkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya