Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menembus angka 14.600 semakin memberatkan para peternak ayam lokal.
Sebab, selama ini bahan baku untuk pakan ternak masih bergantung pada impor. Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar), Singgih Januratmoko mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini akan membuat harga pakan melejit. Akibatnya, biaya produksi peternak juga akan meningkat.
"Dampaknya, harga pakan naik. Pakan naik imbasnya DOC (day old chicken) juga naik," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia mengungkapkan, meski saat ini salah satu bahan baku pakan seperti jagung sudah lagi tidak impor, gandum yang juga bahan baku masih harus diimpor dari negara lain.
"Jagung tidak impor. Tapi karena kurang, ada bahan substitusinya yaitu gandum. Gandum yang masih impor. Bahan baku (porsinya) 30 persen-40 persen dari bahan pakan," ujar dia.
Dengan pelemahan rupiah ini, lanjut Singgi, biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh para peternak diperkirakan naik hingga 15 persen. Hal ini dinilai membuat peternak semakin sulit.
"(Biaya produksi) Naik 10 persen-15 persen. Posisi peternak rugi sekarang," kata dia.
Namun, menurut Singgih, nilai tukar rupiah yang tertekan terhadap dolar AS ini tidak langsung membuat harga ayam dan telur naik di pasaran. Sebab, kenaikan tersebut juga bergantung pada pasokan dan permintaan.
"Naik turunnya harga tergantung suppy-demand. Makanya harga referensi dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) kita harapkan segera naik 10 - 15 persen," ujar dia.
Kemendag Akui Belum Mampu Kembalikan Harga Telur ke Level Normal
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan harga ayam dan telur terus turun usai melonjak tajam setelah Idul Fitri.
Namun demikian, Kemendag mengakui belum mampu membuat harga telur dan ayam tersebut kembali ke level normal.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Tjahja Widjayanti mengatakan, kenaikan harga ayam dan telur usai Lebaran di luar perkiraan pemerintah. Bahkan kenaikan ini hingga menjadi pemicu inflasi pada Juli 2018 yang sebesar 0,28 persen.
"Inflasi Juli dipicu oleh kenaikan harga daging ayam dan telur. Memang ini di luar ekspentasi kami. Karena kami menyangka setelah Lebaran harga ayam dan telur akan turun, tetapi ternyata naiknya luar biasa," ujar dia dalam Seminar Nasional Menelaah Model Konsumsi Pangan Indonesia Masa Depan di Jakarta, Rabu, 8 Agustus 2018.
Menurut Tjahja, sebenarnya saat ini harga ayam dan telur di tingkat peternak telah menurun. Sebagai contoh, harga telur di peternak berada di kisaran Rp 17 ribu per kg. Namun sayangnya harga telur di pasaran saat ini masih berada di harga Rp 25 ribu per kg.
"Harga telur sebenarnya saat ini sudah turun di farm gate sebesar Rp 17 ribu. Harga acuannya sekitar Rp 18 ribu, harga batas bawah (di peternak) sekitar Rp 17 ribu, batas atasnya Rp 19 ribu. Dan sampai saat ini kami belum bisa menurunkan secara signifikan, bahkan sampai harga acuan sekalipun. Jadi harga masih di atas harga acuan," ujar dia.
Adapun kondisi saat ini, kata Tjahja, ada dua pendapat di kalangan pelaku usaha perunggasan. Ada yang menyatakan jika mereka masih merugi, tapi ada juga yang mengatakan sudah mendapatkan untung dengan level harga saat ini.
"Mereka sudah teriak-teriak. Karena harga faktor produksinya naik, harga DOC-nya naik, harga jagung naik. Kemarin kami juga sudah panggil industri pakan dan DOC,” ujar dia.
"Mereka menyampaikan kami tidak bisa menunda kenaikan harga ini. Karena harga yang sebenarnya sudah kita pending beberapa saat. Tetapi ada beberapa pelaku perunggasan, bahwa dengan harga DOC dan pakan saat ini sebenarnya mereka sudah mendapatkan margin yang cukup," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement