Liputan6.com, Jakarta - Pada kuartal ketiga 2015 Twitter merilis fitur jajak pendapat (polling) untuk pertama kalinya.
Awalnya, hanya pengguna terverifikasi yang dapat menyematkan polling di kicauan mereka, tetapi kini pengguna tidak terverifikasi dapat menggunakannya.
Penggunaan fitur ini tampak mengalami peningkatan pesat di tengah-tengah keramaian menjelang Pilpres dan Pileg 2019.
Baca Juga
Advertisement
Alhasil, akun anonim hingga tokoh berpengaruh ramai-ramai menggelar polling terkait pasangan capres dan cawapres yang hendak dipilih warganet.
Tren ini memicu tanggapan dari Khairil Anwar Notodiputro. Di akun Twitter pribadinya, Guru Besar Statistika di Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menuliskan sebuah utas (thread) berjudul "MENGAPA HASIL POLLING TWITTER TIDAK LAYAK UNTUK DIPERCAYA?".
Ia menjelaskan, polling merupakan salah satu teknik pengumpulan data dalam survei untuk mengetahui pendapat dari sekelompok orang.
Sementara survei pada dasarnya adalah mengamati sebagian orang untuk memperoleh gambaran dari seluruh pengguna Twiitter yang ada.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Alat Penting Mengumpulkan Data
Lebih lanjut, survei lazim dilakukan dalam kegiatan riset dan menjadi alat penting untuk mengumpulkan data secara sahih. Ia menekankan, sebagai salah satu teknik pengumpulan data dalam survei, polling harus dijamin kesahihannya. Ini karena survei merupakan kegiatan ilmiah dan kesahihannya akan membuat akurasi hasil polling dapat terukur dan dengan demikian, risiko salahnya pun dapat terukur.
Setidaknya ada dua syarat yang harus terpenuhi, sehingga metode pengumpulan data dinyatakan sahih. Pertama, "sample" harus merepresentasikan "population". Artinya, "sample" harus merupakan miniatur dari "population" dan bagian dari "population" tersebut.
"Bagaimana agar 'sample' itu representatif? 'Sample' bisa representatif jika 'sample' itu ada dalam kendali kita. Jadi 'sample" itu harus terkendali. Pengendalian ini sangatlah penting," jelas Khairil.
Adapun syarat kedua adalah jumlah “sample” harus cukup karena hal ini mencerminkan akurasi dan presisinya.
Advertisement
Masalah Utama Polling di Twitter
Lantas, bagaimana status polling Twitter? Mengacu pada penjelasan di atas, ia menegaskan masalah utama polling Twitter adalah pihak yang menggelar polling tidak bisa mengendalikan “sample” dan “populasi” yang merupakan syarat untuk dapat memperoleh data sahih.
"Sependek pengetahuan saya pengendalian 'sample' dalam polling Twitter sangat sulit dilakukan. Ini Karena kita tidak bisa memilih 'sample'nya, tidak bisa memastikan apakah yang mengisi orang Indonesia, apakah berhak memilih atau tidak, bahkan kita tidak bisa menolak robot," terang Khairil.
Pada penutup utas tersebut, ia menyimpulkan hasil polling Twitter tidak layak dipercaya dan oleh sebab itu, kita cukup menganggapnya sebagai hiburan saja.
Layanan untuk Memanipulasi Polling
Saat ini tersedia layanan untuk memanipulasi polling Twitter dan salah satunya adalah layanan yang ditawarkan Shopatia. Perusahaan yang berdiri pada 2008 itu mengklaim dapat memenangkan polling Twitter sesuai keinginan kliennya.
Latar belakang kliennya pun beragam, mulai dari politikus, artis, profesional hingga perusahaan. Soal tarif, Shopatia mematok mulai dari USD 9 untuk layanan tersebut.
Shopatia sesumbar mampu mengirimkan seribu suara per jam untuk satu polling Twitter. Lebih lanjut, Shopatia memiliki layanan khusus untuk pengiriman suara terjadwal dan kampanye tertentu.
Nah, apa kalian masih menganggap serius kemenangan di polling Twitter?
(Why/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement