Liputan6.com, Jakarta - Setelah sempat berebut posisi cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2019, persaingan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berlanjut ke kursi Wagub DKI Jakarta yang ditinggalkan Sandiaga Uno.
Sebagai pengusung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI 2017, memang hanya dua partai itu yang berhak menduduki posisi DKI-2.
Advertisement
Ketua Dewan Syuro PKS Salim Segaf Al Juffri mengatakan, posisi Wagub yang lowong akan diisi oleh kadernya. Dia beralasan, Partai Gerindra sudah mendapat jatah kursi capres dan cawapres. Maka, kursi Wagub DKI yang kosong akan menjadi milik PKS.
Namun, hal tersebut dibantah Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Muhammad Taufik. "Enggak ada masa jabatan ditukar-tukar begitu. Menurut saya enggak ada," tegas Taufik kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Dia mengatakan, PKS tak perlu ngotot untuk segera menempati posisi yang ditinggalkan Sandiaga itu. Ikuti saja aturan yang ada, yaitu dengan mengirimkan calon yang akan dipilih DPRD DKI Jakarta.
"Tidak harus buru-buru. Nanti kan ada dua nama, satu dari Gerindra dan satu dari PKS. Jadi silakan usulkan nama, kan yang memilih tetap DPRD di rapat paripurna," tegas Taufik.
Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan hal yang berbeda. Dia mengatakan, memang ada kesepakatan antara kedua parpol pengusung, Gerindra dan PKS, bahwa posisi Wagub DKI yang kosong akan diisi oleh kader PKS.
"Ya, ada semacam kesepakatan itu. Tapi nanti tergantung partai pengusung, dalam hal ini Gerindra dan PKS," ujar Fadli Zon kepada Liputan6.com, Senin (13/8/2018).
Dia mengatakan, kesepakatan tentang direlakannya kursi Wagub DKI Jakarta untuk PKS berdasarkan komitmen yang sudah diputuskan sebelumnya.
"Kecenderungannya ada ke sana (PKS), karena merupakan bagian dari negosiasi waktu itu," jelas Fadli.
Sementara, pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, sudah selayaknya kursi yang ditinggalkan Sandiaga diserahkan kepada PKS. Sejumlah argumen dia kemukakan untuk mendukung klaim tersebut.
"Karena PKS sudah banyak mengalah. Pilpres sekarang mengalah, Pilkada DKI 2017 mengalah, Pilkada Jabar 2018 mengalah, Pilpres 2014 mengalah. Gerindra itu mesti berkaca. Jangan rakus dengan kekuasaan," kata Pangi Syarwi kepada Liputan6.com, Senin (13/8/2018).
Dia mengingatkan, yang namanya berkoalisi itu tak boleh memikirkan diri sendiri, melainkan harus pula melihat perimbangan kekuasaan di antara parpol yang berkoalisi.
"Ingat, yang namanya berkoalisi atau bersekutu nggak boleh menang sendiri, maunya sesuka hati. Harus berbagi dan power sharing dengan sekutu. PKS sudah terlalu sangat baik sama Gerindra," ujar Pangi Syarwi.
Akademisi ilmu politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu melanjutkan, jika Gerindra tetap ngotot mengisi jabatan Wagub DKI Jakarta, siap-siap saja kehilangan dukungan dari PKS di wilayah Jakarta.
"Kalau ujung ceritanya nanti masih Gerindra Wagub DKI, lebih baik kader grassroot PKS nggak usah all out atau habis-habisan memenangkan Gerindra, enggak ada gunanya. Lebih baik tidur saja, nggak usah bergerak. Kader PKS itu juga bisa marah," tegas pengamat kelahiran 32 tahun lalu itu.
Dia mengatakan, ini waktu yang pas dan tepat bagi Gerindra mengambil empati dan menunjukkan ke PKS bahwa parpol pimpinan Prabowo itu adalah partai yang punya etika dan mengerti nuansa kebatinan parpol sekutunya.
"Kalau kali ini lepas lagi wagub dari kader PKS, maka luka dan kecewa kader PKS akar rumput makin dalam. Ini jelas akan mempengaruhi loyalitas PKS memenangkan Prabowo-Sandiaga pada Pilpres 2019," pungkas Pangi Syarwi.
Sementara, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes memprediksi Gerindra dan PKS bakal mencari titik kompromi dan akan menyepakati nama calon dari PKS.
"Kalau posisi Sandiaga kembali diisi oleh orang Gerindra itu saya kira akan mengganggu hubungannya dengan PKS. Dugaan saya mereka akan menyepakati dari PKS," jelas Arya kepada Liputan6.com, Senin (13/8/2018).
Karena itu dia berharap Gerindra legowo dan memuluskan jalan bagi kader PKS untuk mengisi kursi wakil Anies Baswedan itu. Dia beralasan, selama ini Gerindra sudah mendapatkan banyak hal dari koalisinya dengan PKS, sehingga kini saatnya untuk membalas budi.
"Lihat saja PKS yang bisa mengalah dalam posisi wapres. Jadi, idealnya dalam kompromi itu, dugaan saya, mereka akan memberikan kepada PKS," tambah Arya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
3 Nama untuk DKI-2
Sejumlah nama dimunculkan Gerindra dan PKS untuk mengisi posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang lowong. Gerindra, misalnya, memunculkan nama Muhammad Taufik yang kini menjabat sebagai Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta. Saat ditanyakan, dia tak menampik kalau menjadi andalan Gerindra untuk mengisi jabatan yang kosong tersebut.
"Kira-kira begitu," ujar Taufik ketika dikonfirmasi soal dirinya yang menjadi calon kuat pengganti Sandiaga dari Gerindra.
Namun, dia mengakui kalau Gerindra hingga kini belum memutuskan nama yang akan dibawa ke paripurna DPRD DKI Jakarta.
Hal yang sama diutarakan Ketua DPW PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo. Dia mengatakan, terkait nama yang diusulkan dari PKS untuk diajukan sebagai pengganti Sandiaga akan ditetapkan oleh DPP.
"Hingga hari ini saya belum dapat info definitif nama tersebut. Mudah-mudahan dalam waktu dekat segera ada keputusan nama yang akan diajukan," ujar Syakir kepada Liputan6.com, Senin (13/8/2018).
Dia juga mengatakan, pihaknya belum mengetahui kebenaran dua nama, yaitu Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera dan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yang akan dipilih untuk menduduki posisi DKI-2.
"Kedua nama tersebut kader terbaik PKS. Tapi saya belum dapat info definitif dari DPP PKS," ujar Syakir.
Keterangan yang agak lebih terang didapat dari Ketua DPP PKS Aboe Bakar Alhabsyi. Dia mengatakan pihaknya sedang menggodok dua nama kader PKS, yakni Ahmad Heryawan (Aher) dan Mardani Ali Sera.
"Nama-nama itu tetap muncul, tapi untuk diputuskan kita tunggu sajalah, sabar," ucap Aboe Bakar kepada Liputan6.com saat ditemui di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).
Bahkan, terkait kabar mundurnya Aher dari daftar caleg, dia tidak membantah bila hal itu lantaran yang bersangkutan akan mengisi posisi DKI-2.
"Semua nama itu serba mungkin, saya tidak bisa bicara sekarang ini," ujar Aboe Bakar.
Dia juga menegaskan, apabila benar Aher menduduki kursi DKI-2, itu bukanlah penurunan posisi meski Aher sebelumnya adalah Gubernur Jawa Barat.
"Kalau di PKS sudah biasa habis dari menteri jadi wali kota di Depok, di PKS itu rileks banget, santai. Enggak ada turun pangkat dalam bekerja, dalam berkarya, sama saja," ucap Aboe Bakar.
Namun, pengamat politik Pangi Syarwi menolak jika Aher yang diajukan PKS untuk menjadi Wagub DKI Jakarta.
"Jangan. Yang lain saja. Apakah nggak ada lagi kader PKS yang punya prestasi dan jam terbang bagus di DKI Jakarta," ujar Pangi memberi alasan.
Menurut dia, pengganti Sandiaga haruslah punya kemampuan birokrasi, paham pemerintah daerah dan keuangan daerah, memahami good governance, tidak ada masalah korupsi dan hukum.
"Anies itu suka panggung, eksposure, jalan-jalan sehingga urusan office atau dapur terbengkalai. Sandi memainkan peran yang sama dengan Anies, yaitu panggung depan, akibatnya banyak yang terbengkalai. Anies harus didampingi oleh wagub administratur yang tekun, bicara lebih detail dan teknis," kata Pangi.
Dia mengatakan, Anies tentu memahami wagub yang dibutuhkannya untuk menjadi bumper dan tameng. Apa yang menjadi kelemahan Anies mestinya bisa ditambal oleh wagub baru nantinya.
"Namun nampaknya PKS sedang mengarah ke Aher yang dipersiapkan jadi Wagub Anies. Karena problem di kaderisasinya yang mandeg," pungkas Pangi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, kalau dilihat sejarahnya, awalnya calon Wagub DKI itu dari PKS adalah Mardani, sedangkan Sandiaga sebagai Cagub DKI. Mardani akhirnya mundur karena ada calon dari independen yaitu Anies Baswedan.
"Jadi, ditinjau dari kacamata itu, maka sebaiknya Wagub DKI dari PKS. Karena sebetulnya posisi Sandiaga adalah jatahnya Mardani, jatahnya PKS," jelas Qodari kepada Liputan6.com, Senin (13/8/2018).
Dia mengatakan, di Pilpres 2019 hal serupa juga terjadi. Ketika PKS meminta kadernya Salim Segaf Al Jufri yang jadi cawapres, Prabowo malah memilih Sandiaga. Ini menambah lagi catatan di mana PKS selalu mengalah kepada Gerindra.
"PKS itu sudah mengalah dua kali. Pilkada DKI dan Pilkada Jabar. Pilkada Jabar awalnya PKS dengan Dedi Mizwar. Tapi kemudian mengalah karena Gerindra meminta berpasangan dengan Sudrajat. Kalau dilihat urut-urutannya, maka posisi Wagub DKI sebaiknya diserahkan kepada PKS," tandas Qodari.
Advertisement
Begini Aturan Mencari Pengganti Sandi
Kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta mengalami kekosongan setelah ditinggalkan Sandiaga Uno yang memutuskan maju sebagai bakal calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2019. Lantas, bagaimana mekanisme pengisian jabatan Wagub DKI yang sesuai aturan?
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri) Bahtiar menjelaskan, mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wagub DKI Jakarta telah diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Pada Pasal 176 ayat (1) UU Pilkada, disebutkan bahwa "Dalam hal Wakil Gubernur DKI Jakarta berhenti karena permintaan sendiri, pengisian Wakil Gubernur DKI Jakarta dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung".
"Partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan dua orang calon Wakil Gubernur DKI Jakarta kepada DPRD DKI Jakarta melalui Gubernur DKI Jakarta untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD DKI Jakarta," kata Bahtiar dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (13/8/2018).
Pengisian kekosongan jabatan Wagub DKI dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut.
Selanjutnya, prosesi pemilihan Wagub dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta telah diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Diungkapkan Bahtiar, pemilihan Wagub DKI diselenggarakan dalam rapat paripurna DPRD dan hasil pemilihannya ditetapkan dengan keputusan DPRD DKI Jakarta. Dari situ kemudian Pimpinan DPRD mengumumkan pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta baru dan menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wagub DKI kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Bahtiar juga menjelaskan perbedaan pengisian kekosongan kursi Wagub pada masa Djarot Saifullah Hidayat dan masa Sandiaga Uno. Kekosongan Wagub DKI setelah Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur, dasarnya adalah UU Nomor 1 Tahun 2015 dan PP Nomor 102 Tahun 2014, dimana memuat ketentuan bahwa pengangkatan wagub merupakan wewenang penuh gubernur.
"Jadi, saat itu prosesinya diusulkan pengangkatannya kepada presiden serta dilantik oleh Gubernur," terang Bahtiar.
Pengaturan pengisian Wagub sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang mengatur soal tata cara pergantian wakil gubernur ini sudah dicabut atau dihapus dan diganti pengaturannya dalam UU Pilkada.
"Saat ini pengisian kekosongan Wagub dilakukan melalui pemilihan di dalam sidang paripurna DPRD sebagaimana amanat Pasal 176 UU No 10/2016," pungkas Bahtiar.
Aturan yang baru ini menegaskan, penentuan nama Wakil Gubernur DKI pengganti Sandiaga Uno tidak berada di tangan Anies Baswedan selaku Gubernur DKI. Partai politik pengusung Anies-Sandiaga, dalam hal ini Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera punya kewenangan penuh menentukan sosok pengganti Sandi untuk dibawa ke DPRD DKI.
"Saya kira mekanismenya tetap berdasarkan UU Pilkada, di mana keputusannya melalui sidang paripurna DPRD," ucap Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Prosesnya, menurut dia, parpol pengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akan mengajukan melalui fraksinya pada paripurna DPRD. Kemudian paripurna mengesahkan dan memutuskan pengusulan dari parpol pengusung itu.
"Yang menyiapkan adalah DPRD," tegas Tjahjo.
Lantas, bagaimana aturan terkait status salah satu nama calon, M Taufik yang mantan terpidana?
Meski mantan terpidana korupsi, Taufik tetap bisa menjabat sebagai Wagub DKI berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pasal 7 ayat (2) tentang syarat seseorang untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah, pada huruf f menyatakan: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Banyak yang memprediksi bahwa penentuan sosok Wagub DKI Jakarta yang akan menggantikan Sandiaga bakal menjadi medan pertempuran kedua antara Gerindra dan PKS. Alotnya pertarungan kedua parpol saat menentukan nama cawapres pendamping Prabowo bukan tak mungkin beralih ke medan terbaru, mencari pendamping Anies Baswedan yang baru.
Di sisi lain, bukan tak mungkin pemilihan ini akan berlangsung mulus. Alasannya, Gerindra akan memberikan jalan untuk PKS menempatkan kadernya di posisi Wagub DKI Jakarta sebagai balasan atas dukungan partai tersebut bagi pasangan Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019.
Jadi, Mardani, Aher atau Taufik?