Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah cukup dalam dalam dua hari ini. Hal ini tidak terlepas dari berbagai sentimen global, salah satunya perang dagang AS dengan beberaps negara di Asia dan Eropa.
Pagi ini saja, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (JISDOR), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 14.625. Angka ini melemah jika dibanding hari sebelumnya 14.583 per dolar AS dan dua hari lalu 14.437 per dolar AS.
Demi menjaga stabilitas nilai tukar ini, perlukah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan 7 Day Repo Rate?
Untuk diketahui, pada Juni 2018, BI sudah menaikkan bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen.
Baca Juga
Advertisement
"Harus dihitung benar kalau mau naikkin suku bunga. Kemarin The Fed masih menahan. Kalau bisa BI jangan dulu over the curve lagi Takutnya ekonomi kita malah kian kontraksi," kata pengamat ekonimi yang juga sebagai Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct, Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com, Selasa (14/8/2018).
Hal yang lebih memungkinkan, menurut dia, adalah mencari terobosan baru yang bisa sebagai sumber devisa. Salah satunya, pemerintah harus bisa meyakinkan para pengusaha untuk bisa menahan devisa hasil ekspor mereka.
Di sisi lain, pemerintah juga harus segera mengupayakan peningkatan investasi ke Indonesia dan menaikkan ekspor ke pasar-pasar baru yang tidak berdampak pada perang dagang.
"Tiga hal secara strategis yang bisa jadi solusi lain adalah pertama, percepat investasi. Kedua, perkuat ekspor. Dan ketiga, pariwisata harus lebih gencar," kata Ronny.
Saat rupiah tertekan seperti saat ini, harusnya menjadi peluang bagi pemerintah dalam mendatangkan investor. Karena investasi di Indonesia saat ini jauh lebih murah.
"Kalau investasi, pemerintah harus benar-benar mampu meningkatkan kredibilitas fiskal dan mampu mendorongnya xenfan regulasi serta insentif," pungkasnya.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dua Sentimen Ini Belum Mampu Angkat Rupiah
Sebelumnya, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang baru dirilis beberapa waktu lalu tampaknya belum berhasil meyakinkan pasar ekonomi Indonesia membaik.
BACA JUGA
Bahkan, pengumuman pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tak cukup membuat pasar stabil.
"Sekarang ini yang jadi pertanyaan begini, kemarin pemerintah mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan II bagus. Terus sudah juga ada kepastian secara politik pencalonan capres dan cawapres, tetapi kenapa respons pasar kok negatif?" ujar Enny pada Senin, 13 Agustus 2018.
Kondisi ini, kata Enny, berbeda dengan pengumuman calon presiden dan calon wakil presiden pada 2014. Saat itu, pasar merespons positif dengan IHSG yang tadinya berada di zona merah merangkak naik ke zona hijau. Meskipun kondisi ini hanya berlangsung satu bulan usai pengumuman.
"Kita ingat betul lima tahun lalu, ketika pendeklarasikan Jokowi ini juga rupiah bahkan IHSG langung dari zona merah ke zona biru. Tetapi ternyata honeymoon-nya tidak lama, honeymoonnya hanya katakanlah satu bulan. Kemudian hal yang sama ini bisa terjadi sekarang, sebaliknya pasar justru merespons negatif," kata Enny.
Enny mengatakan, pemerintah harus mampu menyikapi berbagai kejadian ini dengan bijak seperti menjaga defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan. Jadi kondisi pelemahan nilai tukar rupiah dan juga penurunan laju IHSG tidak terjadi secara permanen.
"Kuncinya adalah di faktor fundamental, kalau faktor itu tetap, tekanan defisit nanti di bulan Juli tetap defisit dan current account kita defisit. Maka itu yang nantinya akan menjawab bahwa depresiasi nilai tukar rupiah kita apakah temporary atau akan terus berlanjut ke depannya," kata dia.
Advertisement