Penerimaan Pajak Tembus Rp 687 Triliun pada Juli 2018

Pertumbuhan penerimaan pajak Januari sampai dengan Juli 2018 mencapai 16,69 persen di luar tax amnesty.

oleh Merdeka.com diperbarui 14 Agu 2018, 20:51 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, realisasi penerimaan pajak hingga 31 Juli 2018 mencapai Rp 687,2 triliun. Pertumbuhan penerimaan pajak Januari sampai dengan Juli 2018 mencapai 16,69 persen di luar tax amnesty.

"Pajak sampai Juli 2018 sebesar Rp 687,17 triliun atau tumbuh 14,36 persen dari periode yang sama tahun lalu," ujar Robert di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Menurut data Kementerian Keuangan, secara rinci jenis pajak utama tumbuh positif. Beberapa di antaranya adalah PPh Pasal 21 tumbuh 16,13 persen, PPh Badan 23,28 persen dan PPN Dalam Negeri (DN) tumbuh 8,10 persen.

"Realisasi PPh 21 sampai 31 Juli 2018 sebesar Rp 81,53 trilun, PPh Badan Rp 137,89 triliun, dan PPN DN sebesar Rp 150,99 triliun. Disusul oleh PPN Impor sebesar Rp 101,89 triliun, PPh 22 Impor Rp 32,01 triliun, PPh final Rp 62,46 triliun," jelas Robert.

Sementara itu dari sisi penerimaan pajak sektoral, beberapa sektor utama tumbuh double digit seperti Industri Pengolahan, yang tumbuh 12,5 persen dan Perdagangan 30,4 persen.

Secara nominal sampai akhir Juli, industri pengolahan menyumbang Rp 194,36 triliun atau berkontribusi 29,9 persen dan perdagangan menyumbang Rp 131,7 triliun.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pengusaha Minta Insentif Pajak buat Genjot Ekspor

Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Sebelumnya, Ketua Apindo Bidang Hubungan Internasional dan Investasi, Shinta Widjaja Kamdani angkat bicara mengenai Indonesia masih alami defisit perdagangan.

Dia mengatakan salah satu faktor penyebab belum moncernya kinerja industri dalam negeri karena belum tersedianya bahan baku. Mayoritas produk ekspor, kata Shinta, menggunakan bahan baku yang diimpor.

"Kalau kita mau meningkatkan ekspor kita harus memastikan ketersediaan bahan bakunya. Mayoritas produk ekspor kita bahan bakunya masih impor. Jangan sampai impor dipersulit karena akan berpengaruh kepada ekspor. Kita masih perlu waktu untuk mengembangkan industri nasional kita tanpa mengimpor karena bahan bakunya belum siap," ujar dia pada Sabtu 28 Juli 2018. 

Insentif fiskal pun masih diperlukan pengusaha. Insentif perpajakan khusus bagi pengusaha yang bergerak di sektor ekspor sangat dibutuhkan untuk mendorong peningkatan kinerja. 

"Pemerintah tanyakan insentif apa yang kita inginkan supaya ekspornya lebih tinggi dan memulangkan dana-dana yang ada di luar negeri," ujar Shinta.

"Kalau kita lihat, insentif fiskal seperti tax allowance dan tax holiday hubungannya lebih banyak ke investasi, penanaman modal untuk membuat perusahaan. Tapi yang kita butuhkan yang segera, fasilitas pajak yang bisa dimanfaatkan langsung oleh eksportir, baik itu PPn ataupun PPh," tambah dia.

"Sebenarnya kalau kita lihat, jasa-jasa ekspor juga cukup besar dan banyak yang belum dapat fasilitas. Itu mungkin kita bisa perhatikan. Selain itu, suku bunga. Selama ini kalau dari segi perbankan suku bunga untuk eksportir juga masih cukup tinggi. Apakah bisa keringanan suku bunga? Itu insentif-insentif yang diharapkan," kata dia.

Aspirasi dan harapan pengusaha ini telah disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo dalam pertemuan beberapa waktu lalu. saat ini Pemerintah tengah meninjau usulan-usulan tersebut.

"Ini sedang dievaluasi apa persisnya yang dibutuhkan. Ini saya rasa perlu analisa lebih lanjut, paling tidak itikad baik dari pemerintah memberikan insentif tapi apa persisnya (bentuk insentif yang harus dberikan) perlu analisa lebih jauh," ujar dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya