Liputan6.com, Florida - Negara bagian Florida, Amerika Serikat mengeluarkan status darurat menyusul serangan "gelombang merah", sebutan bagi serbuan alga merah (Rhodophyta) yang mendera pantai wilayah tersebut. Ganggang ini membuat air laut berubah warna menjadi gelap. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (17/8/2018).
Tak hanya menampilkan pemandangan jadi buruk, serangan alga merah yang terburuk dalam 10 tahun terakhir ini juga mengakibatkan kematian lumba-lumba, penyu ikan dan membuat pantai bau tak sedap.
Advertisement
Bulan ini saja, lebih dari 100 ton makhluk laut mati di pantai yang terletak di daerah wisata itu --di sepanjang pantai barat daya Florida-- akibat banyaknya ganggang merah beracun.
Dalam sepekan ini, 12 lumba-lumba mati terdampar di pantai di Sarasota County.
Fenomena alam serangan ganggang merah di Florida disebabkan oleh organisme mikroskopis bersel tunggal --disebut Karenia brevis-- yang hanya ada di Teluk Meksiko. Organisme itu melepas neurotoksin kuat yang bisa menyebabkan sakit kepala, mata berair, batuk dan serangan asma pada manusia.
Karenia brevis ditemukan sepanjang tahun dalam jumlah yang rendah. Tetapi kalau angkanya berlipat ganda, penyu dan manatee bisa mati akibat terlalu banyak memakan ikan dan rumput laut yang mengandung neurotoksin.
Informasi mengenai ganggang merah dicatat sejak tahun 1500-an oleh penjelajah Spanyol.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pantai-Pantai di Republik Dominika Diselimuti Tumpukan Sampah
Berbicara mengenai pencemaran pantai, pantai di Republik Dominika juga terdampak sampah plastik.
Gelombang besar dari perairan Samudera Atlantik dikabarkan menjadi penyebab tumpukan sampah berserakan di pesisir Republik Dominika.
Bahkan, beberapa pantai cantik berpasir putih di negara Karibia itu dibanjiri oleh kemasan plastik bekas, styrofoam, dan beragam limbah lainnya.
Ratusan petugas kebersihan kota dan relawan bergabung memunguti tumpukan sampah tersebut, yang tersapu ke daratan akibat hujan badai yang terjadi sekitar pesisir Republik Dominika sejak Jumat, 20 Juli 2018.
Dikutip dari TIME pada Rabu 25 Juli 2018, sebanyak 60 ton tumpukan sampah berhasil dikumpulkan sejak akhir pekan lalu. Adapun sisa area yang belum dibersihkan mencapai lebih dari 40 persen dari total wilayah yang tersapu gelombang sampah.
Namun, khusus untuk Pantai Montesinos di bagian timur laut Republik Dominika, sapuan gelombang sampah dilaporkan terjadi hampir teratur setiap tahunnya.
Menurut Cyrill Gutsch, pendiri organisasi pro lingkungan Parley for the Oceans, fenomena itu tak lain terjadi karena kontrol limbah yang buruk di negara yang berbagi pulau dengan Haiti tersebut.
Gutsch menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Pantai Montesinos dan beberapa wilayah pesisir negara itu disebabkan oleh kebiasaan buruk warganya, yang masih banyak membuang sampah ke sungai-sungai pendek yang mengalir ke Laut Karibia.
"Mayoritas limbah itu tidak kembali ke pantai, tetapi tersapu ke kembali ke daratan, menjadi gumpalan sampah berskala masif, dan kemungkinan menyimpan partikel-partikel beracun yang mengancam (kelestarian) alam," jelas Gutsch.
Di lain pihak, beberapa laporan ilmiah mengatakan bahwa gumpalan pulau sampah di lautan telah meningkat massanya dari tahun ke tahun.
Adapun repositori limbah terbesar diketahui berada di tengah Samudera Pasifik, yang disebut Great Pacific Garbage Patch, di mana kini telah membengkak ukurannya menjadi dua kali luas wilayah negara bagian Texas di Amerika Serikat.
Advertisement