Liputan6.com, Banyumas - Di berbagai daerah Indonesia, terutama pulau Jawa, September adalah musim puncak musim kemarau atau mangsa Ketelu dalam kalender musim. Awal musim penghujan terjadi pada Kapat pada bulan berikutnya, Oktober. Ini lah musim buaya kawin.
Musim puncak kemarau ditandai dengan keringnya sumur-sumur warga, berhentinya aliran sungai atau mengecilnya debit mata air. Masyarakat lokal, biasa menyebutnya musim paceklik. Kebanyakan petani tak bisa menanami sawah atau ladangnya, terkecuali bagi sawah dengan irigasi teknis.
Berbeda dengan manusia yang tengah prihatin, musim buaya kawin di wilayah tropis, seperti Indonesia terjadi pada bulan September. Bahkan, pada Agustus, buaya-buaya sudah mulai menunjukkan gejala kawin. Jantan dan betina sudah saling mendekat.
Periode ini juga ditandai dengan semakin agresifnya hewan buas yang bersifat teritorial ini. Di alam liar, siapa pun yang dianggap mengganggu wilayah teritorialnya bakal diserang induk buaya.
Baca Juga
Advertisement
Para Intruder atau tamu yang dianggap mengganggu bakal diusir, diserang bahkan dibunuh. Pasalnya, biasanya buaya sudah mulai membangun sarang dari serasah semak yang ditumpuk di daratan kering. Buaya tak akan jauh-jauh dari sarangnya.
Kondisi ini tak jauh berbeda di penangkaran buaya. Sebagaimana di alam liar, musim kawin buaya pun terjadi di waktu yang sama. Buaya-buaya yang dikandangkan secara berpasangan telah menunjukkan gejala birahi.
Sayangnya, gejala-gejala birahi di penangkaran buaya di Dawuhan Kulon Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas ini tak berlanjut dengan perkawinan buaya. Pasalnya, di tempat ini, tak ada jantan yang cukup tangguh untuk mengawini dua buaya betina jumbo siap kawin.
Pemilik penangkaran buaya, Yusuf Arif Suyanto menerangkan, di penangkarannya ada 26 buaya berbagai jenis. Terbanyak adalah buaya muara. Di luar buaya muara, ada buaya Sinyolung dan buaya Papua.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Negro, Pejantan Buaya Muara Perkasa dari Subang
Di penangkaran ini ada dua buaya betina siap kawin, Guntur dan Rambo. Kedua buaya muara ini berukuran tubuh di atas rata-rata, yakni 2 kuintal lebih dan hampir 2 kuintal. Usianya pun sudah lebih dari dewasa untuk berkembangbiak.
"Ada pejantan yang cukup umur. Tapi jenisnya berbeda, buaya Papua," katanya, Jumat dinihari, 17 Agustus 2018.
Sebenarnya, ada buaya muara jantan. Tapi umurnya masih muda. Ukuran tubuhnya pun masih kalah jauh dengan betinanya. Ia kalah dominan dan justru bisa terluka jika berdekatan dengan si betina.
Arif memutuskan untuk mendatangkan pejantan dari Penangkaran Buaya Subang, Jawa Barat, yang dikelola oleh KPH Perhutani setempat. Buaya jantan ini dianggap cukup perkasa untuk menaklukkan dominasi dua buaya terbesar di penangkaran buaya Dawuhan Kulon, Guntur dan Rambo.
Bukti keperkasaannya, saat dievakuasi dari kandangnya, Negro memberontak dengan hebat. Saking beratnya, batang kayu besar untuk mengangkat patah.
"Saya terkilir. Saya sekarang pakai kursi roda dulu," Arif menuturkan. Saat dihubungi, Arif sedang beristriarahat dalam perjalanan dari Subang ke Banyumas.
Buaya jantan yang didatangkan ini bernama Negro, lantaran kulitnya yang paling hitam dibandingkan dengan buaya-buaya lain di penangkaran yang sama. Ia didatangkan bersama dengan buaya betina yang sudah berjodoh dan dikandangkan di tempat yang sama.
Negro, sang jantan, berbobot lebih dari 200 kilogram dan dalam dokumennya dinyatakan berumur 15 tahun. Adapun betinanya, kurang lebih umurnya sama, dengan ukuran tubuh yang sedikit lebih kecil.
"Tapi dalam pengamatan saya, sepertinya Negro umurnya kisaran 20 tahun," Arif mengungkapkan.
Advertisement
Proses Penjodohan Buaya
Negro ditempatkan di kandang yang sama dengan betina yang didatangkan dari Subang ini. Rencananya, Negro juga akan dijodohkan dengan Rambo dan Guntur, dua betina yang terlebih dahulu ada di penangkaran Dawuhan Kulon.
Dua buaya muara ini didatangkan, terutama si jantan, agar buaya muara di penangkaran, bisa memperoleh keturunan. Salah satu hak yang harus dipenuhi untuk hewan peliharaannya adalah hak untuk berkembang biak. Hak berkembang biak menjadi salah satu indikator kesejahteraan hewan liar yang dipelihara manusia.
"Ke depan, selain penangkaran ini akan jadi destinasi wisata edukatif," dia menerangkan.
Layaknya, hean terotorial seperti disebut di atas, buaya jantan dari Subang dan betina di penangkaran Buaya Dawuhan Kulon tak akan langsung disatukan di sebuah kandang. Mereka akan dibiarkan saling mengenal lewat lorong yang dibatasi besi.
Selanjutnya, jika sudah saling tertarik dan tidak terindikasi bertarung, buaya jantan dan betina akan disatukan agar bisa berkembang biak menjelang musim kawin buaya, September nanti.
"Kan sebenarnya kawinnya September besok. bulan Agustus itu sudah mulai musim. Karena mereka kan berkali-kali kawin, setiap saat-setiap saat," dia menerangkan.
Arif mengemukakan, proses pengenalan antar buaya memang harus dilakukan sealami mungkin dan menghindari interaksi langsung pada masa awal. Hampir dipastikan buaya muara yang dikenal sebagai hewan ganas dan hewan teritorial akan bertarung.
Risikonya, buaya cidera atau bahkan mati. Tentu risiko-risiko yang membahayakan buaya ini mesti dihindari.
Saat disatukan pun, buaya masih akan diikat dengan tali yang diikatkan seaman mungkin ke tubuhnya. Dikhawatirkan, meski sudah berkenalan lewat lorong, ketika disatukan tiba-tiba saling menyerang.
"Saya mau bikin lorong terus dikasih tambang. Kalau berantem ya dipisah lagi kan," dia mengungkapkan.