Liputan6.com, Jakarta Tepat pada tanggal 17 Agustus kemarin, Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-73. Tanggal yang selalu disambut sukacita oleh seluruh masyarakat Indonesia tersebut menjadi langkah awal Indonesia merdeka dan lepas dari belenggu penjajahan.
Kemerdekaan merupakan angin segar bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk bebas melakukan banyak hal tanpa takut mendapatkan intervensi dari negara asing. Salah satunya adalah merdeka atau bebas memilih pekerjaan. Masyarakat bebas melakukan pekerjaan yang dirasa dapat mereka lakukan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Mulai dari menjadi presiden, pengusaha, guru, koki, hingga sopir bajaj.
Advertisement
Di antara sekian banyak profesi yang ada, profesi sebagai sopir bajaj tampaknya sangat menarik untuk dibahas. Moda transportasi yang lazim ditemui di seluruh antero Jakarta ini pernah menjadi andalan warga Ibu Kota pada zamannya. Kursi penumpangnya yang luas, harga terjangkau dan kemampuan beradaptasi dengan macet menjadi keunggulan yang membuat warga jatuh hati.
Namun, sudah saatnya melupakan kejayaan masa lampau. Kini, ketertarikan masyarakat menggunakan bajaj sebagai angkutan umum berbalik 180 derajat. Semua orang paham bahwa eksistensi bajaj mulai tergerus oleh perkembangan zaman.
Dari sekian banyak bajaj yang terparkir di sudut-sudut kota Jakarta, hanya ada beberapa yang bergerak mengantarkan penumpang. Yusuf (72), salah seorang sopir bajaj yang sudah menggeluti pekerjaan tersebut selama kurang lebih 20 tahun menyebutkan bahwa banyak perbedaan antara kondisinya zaman dahulu dengan sekarang.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Beratnya kejar setoran
"Ya kalo dulu mah, bangsa Rp 50 ribu, Rp 100 ribu, masih dapet. Kalo sekarang mah buat setoran aja susah, makan juga susah. Kalo Tuhan enggak ngasih rezeki mah enggak tau."
Jumlah penumpang yang terus menurun membuat ia dan kawan-kawannya sering kali pulang dengan tangan kosong, karena tak mendapatkan satu penumpang pun. Jika sudah demikian, biasanya mereka akan meminta kebijakan khusus dari para jurangan di tempatnya bekerja untuk membayar setoran seadanya.
Perlu diketahui, kebanyakan para sopir tersebut tidak memiliki armada sendiri, melainkan menyewa dari para juragan dengan sistem membayar uang sewa sejumlah Rp 50 ribu hingga Rp 80 ribu per hari. Beruntung, kebanyakan dari para juragan tersebut memahami kesulitan yang tengah dihadapi oleh sopir-sopirnya sehingga tidak memberikan harga mati perihal setoran.
Senada dengan Yusuf, Tarmudi (71) sopir bajaj asal Tegal ini juga mengeluhkan keadaan yang terjadi sekarang. Hantaman bertubi-tubi dari berbagai moda transportasi online dianggap menjadi alasan kuat berkurangnya pendapatan mereka.
Ia mengakui bahwa tarif transportasi online jauh lebih murah dibandingkan bajaj. Akan tetapi ia juga tidak mengelak bahwa rasa cemburu akan hal tersebut pasti ada.
Advertisement
Rela tidur di bengkel
Meski begitu, ia bertekad untuk tidak patah arang. Memiliki tanggungan seorang istri di kampung yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga menjadi motivasinya bertahan dan terus berjuang mengais rezeki hingga sekarang.
"Saya aja tidur di bengkel (tempat berkumpulnya seluruh armada bajaj), kalo ngontrak mah enggak kuat," kata Tarmudi dengan logat Tegal yang khas.
Di tengah pergulatan hidup yang kian mencekik, para sopir bajaj tersebut masih semangat menyambut kemerdekaan bangsanya. Masih ada guratan senyum yang dipersembahkan kepada para pejuang sebagai bentuk rasa terima kasih karena telah memerdekakan bangsanya.
Namun, jangan kira senyum tersebut mereka berikan seluruhnya. Sebab, pada kenyataannya sebagian dari senyum tersebut dihemat-hemat dan disimpan untuk diri mereka sendiri. Sebagai bekal untuk menghadapi hari esok dalam upaya memerdekakan dirinya.
(Kiki Novilia)