Liputan6.com, Canberra - Sekelompok organisasi hak asasi manusia telah menuntut pemerintah Australia untuk menghapus semua pencari suaka anak, yang ditahan di pulau Nauru di perairan Pasifik Selatan.
Desakan itu datang menyusul laporan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang melakukan aksi mogok makan selama berminggu-minggu, memicu kekhawatiran baru tentang kesehatan mereka.
Koalisi dengan tanda pagar (tagar) #KidsOffNauru menginginkan 119 anak-anak di pulau itu dimukimkan pada November mendatang.
Dikutip dari BBC pada Selasa (21/8/2018), kebijakan penahanan lepas pantai Australia yang kontroversial telah dikritik karena korbannya terhadap pencari suaka.
Fasilitas di Nauru didirikan di bawah kebijakan imigrasi garis keras pemerintah Australia, untuk menahan para pencari suaka yang ditangkap saat mencoba mencapai Negeri Kanguru dengan perahu ilegal.
Pusat detensi di Nauru telah diserang oleh tuduhan pelecehan dan trauma yang meluas di kalangan anak-anak dan wanita.
Baca Juga
Advertisement
Senanda dengan hal di atas, koalisi lebih dari 30 badan amal dan kelompok advokasi, termasuk World Vision Australia dan Oxfam Australia, menginginkan semua anak yang ditahan tersebut, dipindahkan ke Australia atau menetap di negara lain yang aman.
Kepala eksekutif World Vision Australia, Claire Rogers, mengatakan anak-anak di Nauru "tidak memiliki harapan".
"Banyak dari mereka telah tinggal selama bertahun-tahun di tenda, mereka telah dipisahkan dari anggota keluarga dekat, dan tidak memiliki tempat yang aman untuk bermain atau akses ke perawatan medis yang memadai," ujar Rogers.
"Jam terus berdetak. Sistem yang berbahaya, rahasia dan disfungsional dari penahanan tanpa batas ini harus diakhiri," lanjutnya menegaskan.
Hingga saat ini, pemerintah Australia belum bereaksi menanggapi desakan tersebut.
Simak video pilihan berikut:
Sulit Dipantau Publik
Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan kepadatan penduduk telah melanda pusat detensi Australia di Nauru selama bertahun-tahun.
Beban mental pada kelompok muda yang ditahan di Nauru semakin menjadi fokus publik, termasuk tentang laporan percobaan bunuh diri.
Masalah ini menarik perhatian baru pada pekan lalu, ketika muncul berita tentang bocah 12 tahun melakukan aksi mogok makan, yang belakangan diketahui berasal dari Iran.
Ian Rintoul, juru bicara Koalisi Aksi Pengungsi, mengatakan bahwa anak tersebut sekarang melakukan mogok makan selama sekitar 19 hari. Upaya mediasi sedang dilakukan untuk memindahkannya ke Australia untuk perawatan medis yang mendesak.
Menurut laporan berbagai media Negeri Kanguru, akses menuju Nauru terbilang sulit, di mana dibutuhkan biaya setidaknya 8.000 dolar Australia (setara Rp 85,7 juta) untuk pulang pergi dari daratan Australia. Pengajuan apliaksi visa bagi media pun sangat sulit untuk memantau langsung kondisi di sana.
Kelompok-kelompok advokasi mengatakan banyak keluarga hidup dalam kondisi memprihatinkan, di tenda-tenda berjamur dengan fasilitas kamar mandi yang kotor. Anak-anak hanya memiliki sedikit tempat untuk bermain di pulau Pasifik itu.
Nauru merupakan kepulauan kecil sekitar 53 kilometer di selatan garis khatulistiwa, yang mayoritas terbentuk dari batuan fosfat.
Fasilitas penampungan yang dibangun Australia disebut mampu menamping lebih dari 240 orang, dan memiliki akses terbatas untuk memenuhi kebutuhan publik.
Advertisement