Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan angkat bicara terkait pernyataan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan soal cicilan utang Indonesia yang mencapai Rp 400 triliun. Menurut dia, perihal besaran utang tersebut sudah dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Jadi ada yang ngomong di MPR mengenai utang Rp 400 triliun itu angkanya sudah dijelaskan sama Bu Sri Mulyani," ungkapnya di Equity Tower, Jakarta, Selasa (21/8/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia mengharapkan, agar pihak manapun sebaiknya dapat menjelaskan pernyataan berdasarkan data sehingga tidak malah menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
"Saya pikir kita jangan bohongin anak-anak muda dengan memanipulasi data itu," kata dia.
Mantan Menko Polhukam ini menegaskan bahwa setiap pernyataan di ruang publik sebaiknya ditopang oleh data yang akurat serta kompetensi dalam menganalisa data.
"Jadi membaca data itu kalau enggak mengerti ya jangan diomongin," tandasnya.
Reporter:Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Adu Debat Sri Mulyani Vs Zulkifli Hasan soal Utang, Siapa yang Benar?
Permasalahan utang Indonesia memang terus menjadi bahan kritikan banyak pihak. Salah satunya Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan yang mengatakan bahwa pembayaran utang pemerintah tidak wajar.
Menurutnya, pemerintah tidak bisa klaim rasio utang sekitar tiga persen adalah aman. Ini karena membayar utang Rp 400 triliun per tahun itu sangatlah besar.
"Itu setara tujuh kali dari dana yang disalurkan ke desa-desa, enam kali anggaran kesehatan," kata dia, dalam sidang tahunan MPR, Kamis (16/8/2018).
Untuk itu, negara harus menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah krisis sejak dini. Hal tersebut menjadi penting untuk jaga ketahanan ekonomi.
"Kita perlu melakukan melakukan pengetatan prediksi-prediksi perekonomian secara cermat, terukur, dan akuntabel," imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan saat ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam kondisi sehat lantaran defisit APBN semakin turun dan keseimbangan primer menuju arah yang positif.
"Hanya untuk membuktikan kami mengelola dari sisi keuangan negara adalah sangat hati-hati. Nominal defisit itu yang kadang confuse, sengaja yang dipolitisasi angka itunya," ujar dia di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (16/8).
Dia menjelaskan, memang defisit APBN sempat menyentuh angka 2,59 persen pada 2015. Namun angka tersebut perlahan turun pada 2016 sebesar 2,49 persen, turun pada 2017 menjadi 2,15 persen, target di 2018 sebesar 2,12 persen dan di RAPBN 2019 ditargetkan sebesar 1,84 persen dari GDP.
"Dari yang tadinya pernah mencapai 2,59 persen yang terdalam di 2015, itu dikarenakan di 2015-2016 menghadapi situasi harga komoditas jatuh sehingga fiskal kita melakukan counter critical. Sehingga defisit agak lebih dalam. Namun begitu kita mengalami konsolidasi sekarang defisit di 1,84 persen. Angka ini lebih rendah atau paling kecil dibandingkan defisit paling yang terjadi di 2012 yaitu 1,86 persen dari GDP," jelas dia.
Selain itu, Sri Mulyani juga menyayangkan penyataan Zulkifli Hasan yang menyinggung soal anggaran kesehatan yang dikaitkan dengan pembayaran utang. Menurut dia, perhitungan yang disampaikan oleh Ketua Umum PAN tersebut juga tidak tepat.
"Saya menyayangkan perhitungan Ketua MPR dalam menghitung anggaran kesehatan, yang menghitungnya juga kurang tepat. Karena anggaran kesehatan yang dihitung hanya anggaran yang ada di Bu Menkes. Kesehatan ada yang dengan PBI (Penerimaan Bantuan Iuaran) dan ada yang berasal dari daerah," imbuhnya.
Tak sampai di situ, Sri Mulyani kembali menguraikan pendapatnya melalui Facebook resminya.
Advertisement
Bermuatan Politis dan Menyesatkan
Melalui Facebook resminya, Sri Mulyani kembali menanggapi pernyataan Zulkifli Hasan. Berikut unggahannya pada Senin (20/8).
Tanggapan atas Pernyataan Ketua MPR "Pembayaran Pokok Utang Pemerintah Tidak Wajar". Pernyataan tersebut selain bermuatan politis juga menyesatkan. Berikut penjelasannya:
1. Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (Sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu.
Sementara itu, 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management). Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?
2. Karena Ketua MPR menggunakan perbandingan, mari kita bandingkan jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan anggaran Dana Desa.
Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp25,6 triliun. Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp396 triliun sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4%.
Bahkan di tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7%. Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.
Mengapa pada saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?
Kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih 4 kali lipat dari 2009 ke 2018 menunjukkan pemerintah Presiden Jokowi sangat memperhatikan dan memprioritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia.
3. Ketua MPR juga membandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa. Karena dana desa baru dimulai tahun 2015, jadi sebaiknya kita bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat. Pada tahun 2018 rasio menurun 39,3% menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali. Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR.
Jadi arahnya adalah menurun tajam, bukankah ini arah perbaikan? Mengapa membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar? Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar.
4. Pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati (pruden) dan terukur (akuntabel). Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3% per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara. Defisit APBN terus dijaga dari 2,59% per PDB tahun 2015, menjadi 2,49% tahun 2016, dan 2,51% tahun 2017. Dan tahun 2018 diperkirakan 2,12%, serta tahun 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84%.
Ini bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara profesional dan kredibel. Ini karena yang kami pertaruhkan adalah perekonomian dan kesejahteraan serta keselamatan rakyat Indonesia.
5. Defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Tahun 2015 defisit keseimbangan primer Rp142,5 triliun, menurun menjadi Rp129,3 triliun (2017) dan tahun 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp64,8 triliun (outlook APBN 2018). Tahun 2019 direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi hanya Rp21,74 triliun, sekali lagi menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak. Apakah ini bukti ketidak-wajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?
6. Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Bila tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49,0% (karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya), tahun 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7%!
Ini karena pemerintah bersungguh-sungguh untuk terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri. Ini juga bukti lain bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang. Hasilnya? Pemerintah mendapat perbaikan rating menjadi investment grade dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016. Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?
7. APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta makin mandiri. Komitmen dan kredibilitas pengelolan APBN ini sudah teruji oleh rekam jejak pemerintah selama ini. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benar dan akurat.