Gebrakan Ratusan Siswa Aloysius Bandung Kobarkan Semangat Toleransi

Pada 29-30 Agustus 2018 nanti Sekolah Aloysius Bandung merayakan 88 tahun usianya dengan menggelar pertunjukan kolosal.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 25 Agu 2018, 23:01 WIB
Ketua Pengurus Yayasan Sekolah Aloysius Bandung, Sherly Iliana (tengah) saat memberikan keterangan kepada pers

Liputan6.com, Bandung - Sudah 88 tahun sekolah Aloysius Bandung berdiri. Selama itu pula, salah satu sekolah tertua di Kota Bandung tersebut mencetak ribuan siswa. Pada 29-30 Agustus 2018 nanti mereka merayakan 88 tahun usianya dengan menggelar pertunjukan kolosal.

Seiring gelora semangat kemerdekaan Indonesia, sebanyak 880 siswa dan siswi sekolah-sekolah Aloysius se-kota Bandung itu akan tampil di Sabuga-ITB. Pertunjukan itu bertajuk Ekadasa Windu Aloysius.

Tidak tanggung, mereka yang nanti tampil adalah anak-anak TK, SD, SMP, hingga SMA, baik dari sekolah Aloysius di Trunojoyo, Sultan Agung, Sukajadi, maupun Batununggal.

Ketua Pengurus Yayasan Mardiwijana-Satya Winaya Bandung Sekolah Aloysius Bandung, Sherly Iliana mengatakan, pertunjukan Ekadasa Windu Aloysius ini adalah wujud nyata dari sebuah peristiwa interkultural yang memberdayakan talenta anak-anak Aloysius.

"Mereka terlibat penuh dalam proses kreatif seni sekaligus internalisasi nilai-nilai kebangsaan kita, tidak lain untuk merawat kekuatan local genius kita dalam wataknya yang penuh dengan pesona pelangi kebinekaan," ujar Sherly di Bandung, Selasa, 21 Agustus 2018.

Sherly mengungkapkan, pertunjukan kolosal tersebut akan mempersembahkan sederet mosaik seni yang merupakan buah kreativitas dan bagian tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran mereka di sekolah.

Ajang kreativitas murni para siswa lewat pendampingan para guru dan pelatih di sekolah-sekolah Aloysius, bakal mengisi berbagai kegiatan seni. Mulai dari paduan suara, drumband, drama, tarian dan lagu-lagu nusantara yang melegenda dari Sabang sampai Merauke, dari Saman Aceh hingga Yamko Rambe Yamko di tanah Papua.

Pagelaran nanti juga dilengkapi dengan sajian angklung, karinding, rampak kendang dan bedug, hingga Kicir-kicir, Angin Mamiri, Cublak Suweng dan Hela Rotan.

"Semua dikemas dalam kombinasi tradisional, modern dan kontemporer. Didukung tayangan-tayangan unik dan menggelitik pada layar LED screen dengan bagian-bagian tertentu terproyeksikan secara live melalui sistem multi-camera, selain sajian gambar-gambar motekar karya perupa Herry Dim," jelas Sherly.

Pertunjukan berdurasi dua setengah jam nanti adalah sebuah upaya tulus sekolah Aloysius untuk merayakan keragaman dan toleransi, persatuan dan kebersamaan dalam bingkai sikap yang saling menghormati dan saling menghargai, menjungjung tinggi dan saling mengangkat satu sama lain justru dalam indahnya perbedaan dan keragaman latar kultur, suku, dan agama.

"Refleksi selama 88 tahun berdiri ialah kita berharap para siswa dapat terus mengembangkan kemanusiaannya. Walau kita lihat percepatan global memengaruhi peserta didik tapi biarkan itu menjaga karakter mereka. Serta menyadari betul bahwa mereka punya tanggungjawab untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila, keberagaman nusantara," kata Sherly.

"Sehingga atas dasar itu mereka yakin dan bisa terbuka wawasannya bagaimana memberikan sesuatu yang lebih sebagaimana prinsip-prinsip spiritualitas Aloysius, Ad Maiora Natus Sum yaitu Aku lahir untuk sesuatu yang lebih," sambung Sherly.

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

Simak video pilihan berikut ini:


Berselaras dengan Alam

Franciscus Xaverius Widaryanto

Pemrakarsa acara sekaligus penulis naskah pertunjukan, Franciscus Xaverius Widaryanto menjelaskan, pertunjukan Ekadasa Windu Aloysius mengangkat kisah pertemuan dan perjalanan sepasang burung mungil tetapi lincah dan berjati diri, yakni Burung Gereja yang diperankan oleh Vyanca Regine dan Burung Merpati Pos diperankan oleh Sabrina Chavella.

Kedua siswi SMA Aloysius, kata dia, melalui perjalanan terbang menjelajah nusantara, bersua dengan luapan semangat kebersamaan dan praktik gotong-royong, persatuan dalam perbedaan dan keragaman di berbagai pelosok negeri.

Serta kekayaan budaya yang melimpah-ruah yang sesungguhnya merupakan aset bangsa yang sejati, nuansa-nuansa kearifan lokal melalui penggambaran kehidupan para petani dan masyarakat pedesaan yang hidup selaras dengan alam dan lingkungan serta daya pikat "dolanan bocah" atau permainan kanak-kanak.

Nusantara yang bersahaja tetapi sarat makna dan yang kini nyaris tinggal kenangan. Semburat pesan moral pun membahana, dari nilai-nilai kesatuan dan persatuan melalui penggambaran gerak komposisi sapu lidi yang kompak dan solid hingga prinsip-prinsip jatidiri eksistensial sebagaimana prinsip-prinsip spiritualitas Aloysius, Ad Maiora Natus Sum.

"Secara harfiah berarti, hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan esok mesti lebih baik dari hari ini. Seperti api semangat yang terus menyala, mereka harus menjadi yang paling baik dari yang terbaik," ujar Widaryanto.

Pak Wid, sapaan akrabnya, mengungkapkan pementasan kali ini mengungkap pesan moral lain yang juga sangat mendasar mengemuka berulang-kali melalui dialog tokoh dua ekor burung, bahwa makna penting nilai kejujuran jauh melampaui sekedar kecerdasan intelektual.

"Ekadasa Windu Aloysius adalah niat hati untuk merajut memori indah tentang keragaman dan kebersamaan kita sebagai bangsa yang besar, dan tidak lain bertujuan untuk merentang nilai-nilai toleransi di antara kita," ungkapnya.

Hajat besar fiesta seni sekolah Aloysius ini, yang dalam pelaksanaannya didukung secara khusus oleh para seniman pertunjukan, tari, teater, musik, dan rupa, dari kota Bandung, yang notabene datang dari keragaman suku dan budaya. Mereka telah melalui perjalanan kreatif sejak Februari lalu, dengan persiapan pra-produksi sejak November 2017 silam.

Bahkan, dalam proses pengambilan gambar di tengah-tengah pesawahan dan di alur sungai pegunungan berbatu-batu besar, anak-anak diarahkan untuk langsung mengunnungi daerah Sumedang.

"Anak-anak Aloysius pun menyatu dan purna berbaur, seolah mereka live in dengan alam-lingkungan dan manusia pedesaan dan seolah segenap ‘perbedaan’ itu luntur sudah, berlumur lumpur di sawah, membasuh badan di sungai," kata dia.

"Menghidupkan api hawu (tungku) dengan songsong peniup bara api sebelum makan bersama dengan lauk-pauk ikan yang baru diambil dari balong dan sambal terasi yang diulek ramai-ramai, tentu didahului doa panjang penuh berkah ala ajengan kyai kampung," dia menambahkan.

Selain berbaur dengan alam, di tengah latihan gabungan semua unsur penampil, bersamaan dengan bulan suci Ramadan yang baru berlalu, semua kawan yang tengah menjalankan ibadah puasa dengan santun dipersilakan ke ruangan khusus yang tersedia takjil dan makanan untuk berbuka puasa.

"Kawan-kawan panitia dari Aloysius, dipimpin langsung oleh Lana Rita Rustam (guru dan ketua panitia), dengan tulus ikhlas melayani kami dan para pelatih serta guru mereka yang muslim untuk berbuka puasa, sementara mereka sendiri nampak tersipu menyantap makanan yang nyaris habis setelah kami bersantap buka," ujarnya.

Momen tersebut penting untuk menunjukkan keragaman dan kebersamaan yang sesungguhnya bersahaja itu telah menyentuh dinding ego yang paling sublim justru melalui kelakar dan cengkerama akrab yang tulus untuk saling menghormati, menghargai, dan saling melengkapi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya