Liputan6.com, Banjarnegara - Bagi petani Banjarnegara, Jawa Tengah, kopi tak terlampau dikenal. Ia jelas kalah oleh komoditas pertanian sepanjang musim lainnya, salak Banjarnegara yang popularisnya menjangkau penjuru negeri.
Salak dianggap sebagai tanaman yang menguntungkan lantaran bisa dipanen nyaris sepanjang tahun, dua pekan sekali. Bahkan, pada puncak berbuah, Banjarnegara seolah banjir salak.
Petani-petani pun tergiur dengan legitnya rupiah dari salak. Salak menjadi tanaman yang sangat digandrungai petani Banjarnegara.
Tanaman yang sekujur batang daunnya dipenuhi duri ini ditanam mulai dataran rendah hingga pegunungan utara Banjarnegara. Bahkan, di perbukitan dengan sudut elevasi tinggi pun tak luput dari rimbunnya salak.
Padahal, pegunungan Banjarnegara dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan longsor di Jawa Tengah. Pada sudut kemiringan curam, mestinya tanaman keras, seperti kayu-kayuan lah, yang mestinya dibudidayakan. Salah satunya, kopi.
Baca Juga
Advertisement
Di luar potensi ekonominya, tanaman kopi dengan kayu keras dan akar tunggangnya relatif mengurangi potensi bencana. Ini tentu beda dengan salak yang minim nilai tambah konservasi.
Saat sebagian besar petani berbondong-bondong menanam salak, seorang petani, Imam Sarjidin rupanya tak tergiur. Ia tak silau dengan gemerincing rupiah yang cepat dihasilkan tanaman salak.
Ia justru menanam kopi Robusta, yang jarang dikenal oleh petani Banjarnegara. Ia memang membawa langsung bibit kopi dari Sumatera. Meski tak populer, namun Imam yakin, kopi bakal memiliki masa depan yang cerah.
“Saya tanam di sini, kok cocok," ucapnya, beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan salak yang cepat berbuah, kopi membutuhkan waktu yang lebih panjang. Untuk mencapai puncak usia produktif, kopi pun membutuhkan waktu yang lebih lama.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Simak video menarik pilihan berikut di bawah:
Juara Ketiga Indonesia Specialty Coffe Contest
Akan tetapi, Imam dan keluarganya cukup bersabar. Sebabnya, tatkala waktu itu tiba, kopi juga bakal memiliki umur produktif yang lebih panjang tinimbang salak. Dengan perawatan dan penanganan yang tepat, usia produktif kopi bisa mencapai puluhan tahun.
"Tanaman ini tak membutuhkan perawatan yang ribet. Sesekali diberi pupuk organik," dia menjelaskan.
Imam juga memiliki alasan lain sebelum memutuskan menanam kopi. Dusun Gintung Desa Binangun Kecamatan Karangkobar merupakan daerah zona merah bencana tanah longsor. Kayu dan perakaran kopi yang kuat dianggap mampu mengurangi risiko bencana.
Perlahan tapi pasti, kopi membuktikan kedigdayaannya. Saat harga salak jatuh lantaran suplai membludak, harga kopi relatif stabil. Pemasarannya pun mudah seturut popularitas kopi dalam negeri yang semakin menanjak.
Keberhasilan Imam membudidayakan kopi Robusta membuka mata petani lain di dusun yang sama. Mereka pun lantas mengikuti langkah Imam dan mulai menanam kopi. Pada 2003, petani mendirikan kelompok petani kopi Gondo Arum.
Kopi robusta Gondo Arum, Banjarnegara semakin moncer setelah Imam mengikuti kontes kopi bergengsi, Indonesia Specialty Coffe Contest. Kopi Gondo Arum meraih juara 3 pada ajang ini.
Kini, permintaan kopi Robusta dari Dusun Gintung tak hanya berasal dari dalam negeri. Pasar luar negeri pun sudah meliriknya. Jepang misalnya, ingin dikirimi kopi Gondo Arum sebanyak 2.000 ton per tahun. Padahal, produksi kopi baru mencapai 500 ton per tahun.
Permintaan kopi Robusta dusun Gintung terus meningkat. Tahun 2018 ini, pihaknya bahkan telah menerima permintaan kopi dari Jepang sebanyak dua ribu ton pertahun. Padahal, produksi kopi dari desanya baru mencapai 400 sampai 500 ton pertahun.
Advertisement
Kopi Arabika Kalibening, Juara Festival Kopi Nusantara 2017
Imam dan kelompok tani juga mulai mengembangkan bibit kopi varietas unggul yang dikembangbiakkan dari tanaman-tanaman kopi terbaiknya. Bibit tanaman ini dijadikan lahan bisnis baru sekaligus untuk mengembangkan kopi Robusta Gondo Arum agar skala lahannya semakin luas.
Untuk menembus pasar internasional lahan dan tanaman kopi bebas dari kandungan zat kimia yang dibuktikan dengan sertifikasi organik. "Orang Jepang langsung cek kesini. Dicek unsur tanahnya, kadar kimianya," dia menambahkan.
Di Banjarnegara pula, ada kopi juara dari jenis lainnya, kopi Arabika. Kopi Arabika dataran tinggi Kalibening, Banjarnegara memenangkan Festival Kopi Nusantara 2017 di Bondowoso, 25-26 Agustus 2017 lalu.
Kopi ini menjadi kopi arabika terbaik setelah menyisihkan 9 kopi arabika terbaik dari berbagai penjuru tanah air, yakni kopi Arabika Toraja, Samboga Bandung, Prigen Pasuruan, Kledung Temanggung, Ijen Raung Bondowoso, Flores Bajawa Ngada, Bumiaji Batu, Bowongso Wonosobo, dan kopi arabika Bandung.
Kopi Arabika Kalibening dinyatakan unggul dalam bermacam kategori, yakni aroma (Fragrance), citarasa (Flavor), kekentalan (Body), keasaman (Acidity), dan citarasa yang melekat di kerongkongan usai kopi diteguk (Aftertaste).
Adalah, Galih Febianto (29) yang melakukannya. Pemuda asli Wanadadi Banjarnegara itulah orang di balik kemenangan kopi Arabika Kalibening.
Tentu saja, kisah kemenangannya tak semudah membalikkan daun jati. ia memulainya jauh hari sebelum ‘Kids Jaman Now’ mengerti kopi. Tahun 2008 adalah awal perkenalannya dengan kopi, kala menjadi distributor kopi bali.
Ia tertarik untuk belajar mengolah biji kopi agar ‘taste’nya pas dengan yang dimaui penikmat kopi. Itu terjadi kala Galih membuka kedai kopi, yang kini berkembang menjadi kafe serabine.co.
"Ada yang komplain bijinya kegosongan, saya sampaikan ke petani besok lagi jangan gosong. Saya juga menyampaikan, waktu dijemur jangan sampai kena pasir, terlindas ban mobil. Ya saya sampaikan,” ujarnya, Sabtu, 14 Oktober 2017.
Perjalanan panjangnya akhirnya berbuah manis. Galih memenangi Festival Kopi yang lantas membuat kopi Arabika Kalibening kondang, Imbasnya, permintaan kopi Arabika meningkat drastis.