Liputan6.com, Caracas - Krisis Venezuela berdampak ke melambungnya harga kebutuhan hidup masyarakat di negara ini. Akibat amburadulnya ekonomi Venezuela, harga sabun meroket sampai 3,5 juta bolivar atau setara Rp 205 ribu. (1 bolivar = 0.059).
Melansir Reuters, Kamis (23/8/2018), selain harga sabun yang mencapai Rp 200 ribu, harga wortel sempat menyentuh 300 ribu bolivar (Rp 176 ribu) per kilogram (kg), sementara harga beras 250 ribu bolivar (Rp 147 ribu) per kg.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai solusi mengatasi lonjakan harga ini, Pemerintahan Presiden Nicolas Maduro kemudian mengambil keputusan untuk mengurangi lima angka nol (denominasi) pada mata yang uang bolivar yang justru membuat masyarakat bingung. Pemerintahan Maduro menerapkan kebijakan tersebut pada Senin (21/8/2018) waktu setempat.
Masyarakat kebingungan akibat redenominasi Venezuela. Dijelaskan bahwa meskipun ada uang baru, tetapi uang sebelumnya tetap berlaku.
"Saya tidak paham konversi moneter ini, pemerintah, tidak menjelaskan bagaimana itu bekerja atau perihal gaji," ucap Yuraima Galaviz.
Karena lima nol akan dihilangkan pada mata uang baru, maka 1 juta bolivar setara dengan 10 bolivar uang lama. Sebelumnya, masyarakat harus membawa bertumpuk-tumpuk uang ketika berbelanja, karena harga popok saja sempat menyentuh 8 juta bolivar (Rp 480 ribu).
Warga Venezuela pun memilih untuk pergi menuju negara tetangganya seperti Ekuador dan Kolombia. Namun, belakangan ini, Ekuador mulai menutup batas negara mereka bagi warga Venezuela.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di SinK
Inflasi Diramal Tembus 1 Juta Persen
Venezuela merupakan negara yang kaya minyak serta pemerintah yang membanggakan diri sebagai penganut sosialisme. Segala predikat itu tampak hampa ketika rakyatnya kabur ke negara lain karena kelaparan dan inflasi mencapai satu juta persen.
Menurut laporan International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional, IMF), inflasi Venezuela diproyeksikan menyentuh satu juta persen pada akhir 2018.
IMF menyebut, pemerintahan Venezuela akan terus mengandalkan ekspansi basis keuangan (monetary base), yang justru mempercepat inflasi sebagaimana permintaan uang yang terus merosot.
Tak aneh bila muncul kabar-kabar uang Venezuela, bolivar, ditemukan di tong sampah atau dijadikan tas, karena nilai mata uang di sana sudah jatuh.
Venezuela memang terlalu bergantung pada ekspor minyak, serta tidak ada diversifikasi pada perindustriannya. Jadinya, saat harga minyak jatuh, otomatis ekonomi Venezuela langsung kocar-kacir.
Presiden Nicolas Maduro pun hanya bisa menyalahkan pihak-pihak lain, seperti Amerika Serikat (AS), Portugal, dan Kolombia, atas krisis di negaranya.
Lebih lanjut, IMF menyebut apa yang dialami Venezuela persis seperti di Jerman pada 1923. "Situasi di Venezuela serupa dengan di Jerman pada 1923 atau Zimbabwe pada akhir 2000."
Krisis yang terjadi di Venezuela juga memberi efek pada negara-negara tetangga. Pasalnya, banyak penduduk Venezuela yang memilih bermigrasi ke negara-negara terdekat, seperti Kolombia.
Tidak hanya manusia yang kena dampak, hewan di kebun binatang menjadi kurus kering, dan tanaman di kebun raya juga layu karena masalah ekonomi di Venezuela
"Runtuhnya aktivitas ekonomi, hiperinflasi, dan menambah buruknya ketersediaan kebutuhan publik (layanan kesehaatan, listrik, air, transportasi, dan keamanan) begitu pula kurangnya makanan di harga subsisdi telah menimbulkan derasnya migrasi, yang memberikan efek luapan (spillover effect) ke negara-negara tentangga," tulis IMF.
Advertisement