Rakyat Venezuela Bingung Lima Angka Nol Uang Bolivar Dihapus, Duit 10 Juta jadi 100 Perak

Redenominasi melahirkan kepusingan kepala baru bagi rakyat Venezuela.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 23 Agu 2018, 18:00 WIB
Tampilan tas dari lembaran Bolivar buatan Rojas di Caracas, Venezuela, pada 30 Januari 2018. Inflasi yang tinggi membuat mata uang tersebut terus kehilangan nilainya. (AFP Photo/Federico Parra)

Liputan6.com, Caracas - Strategi pemerintahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro untuk menahan laju inflasi memberikan masalah baru. Rakyat Venezuela mengaku kebingungan seiring kebijakan pengurangan lima nol dalam nilai mata uang (redenominasi) bolivar.

Rakyat Venezuela kebingungan karena sekarang 1 juta bolivar hanya menjadi 10 bolivar dan 10 juta bolivar menjadi 100 bolivar. Mata uang baru ini disebut Maduro sebagai Bolivar Soberano (Bolivar Berdaulat).

"Saya tidak paham konversi moneter ini. Pemerintah tidak menjelaskan bagaimana itu bekerja atau perihal gaji," ucap warga bernama Yuraima Galaviz, seperti dikutip Reuters, Kamis (23/2/3018). 

Uniknya lagi, uang bolivar lama juga masih beredar sampai jangka waktu yang tidak ditentukan. 

Sebagai catatan, dalam nilai uang lama, harga barang di Venezuela bisa mencapai jutaan bolivar. Ambil contoh sabun yang mencapai 3,5 juta bolivar atau setara Rp 205 ribu. Atau popok seharga 8 juta bolivar atau Rp 470 ribu (1 bolivar = Rp 0,059). 

Menurut Fortune, warga Venezuela mengantre di ATM untuk mengambil uang baru, namun mereka dibatasi menarik 10 bolivar per hari. Maduro sendiri menyebut langkah ini sebagai perubahan bersejarah dan menjanjikan stabilitas ekonomi lewat bolivar baru.

"Sebuah perubahan ekonomi bersejarah telah dimulai. Kami menyambut bolivar berdaulat dengan adaptasi sukses dari seluruh platform bank nasional. Kami akan meraih stabilitas dengan keseimbangan ekonomi dan makroekonomi untuk kebaikan seluruh rakyat Venezuela," jelas dia melalui akun witter.

Sebelumnya diberitakan beragam masalah membelit ekonomi Venezuela. Mulai dari harga kopi yang melonjak, dana pensiun yang menunggak, dan warga negara yang mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Ekuador dan Kolombia. 


IMF Ramal Inflasi Venezuela Tembus 1.000.000 Persen

Wilmer Rojas (25) menunjukkan lembaran mata uang Bolivar di Caracas, Venezuela, 30 Januari 2018. Dengan menggunakan jarum dan benang, Rojas menyulap lembaran Bolivar menjadi dompet hingga tas. (AFP Photo/Federico Parra)

Venezuela, negara yang kaya minyak serta pemerintah yang membanggakan diri sebagai penganut sosialisme. Segala predikat itu tampak hampa ketika rakyatnya kabur ke negara lain karena kelaparan dan inflasi mencapai satu juta persen.

Menurut laporan International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional, IMF), inflasi Venezuela diproyeksikan menyentuh satu juta persen pada akhir 2018.

IMF menyebut, pemerintahan Venezuela akan terus mengandalkan ekspansi basis keuangan (monetary base), yang justru mempercepat inflasi sebagaimana permintaan uang yang terus merosot. Tak aneh bila muncul kabar-kabar uang Venezuela, bolivar, ditemukan di tong sampah atau dijadikan tas, karena nilai mata uang di sana sudah jatuh.

Venezuela memang terlalu bergantung pada ekspor minyak, serta tidak ada diversifikasi pada perindustriannya. Jadinya, saat harga minyak jatuh, otomatis ekonomi Venezuela langsung kocar-kacir. Presiden Venezuela Nicolas Maduro pun hanya bisa menyalahkan pihak-pihak lain, seperti Amerika Serikat (AS), Portugal, dan Kolombia, atas krisis di negaranya.

Lebih lanjut, IMF menyebut apa yang dialami Venezuela persis seperti di Jerman pada 1923. "Situasi di Venezuela serupa dengan di Jerman pada 1923 atau Zimbabwe pada akhir 2000."

Krisis yang terjadi di Venezuela juga memberi efek pada negara-negara tetangga. Pasalnya, banyak penduduk Venezuela yang memilih bermigrasi ke negara-negara terdekat, seperti Kolombia.

Tidak hanya manusia yang kena dampak, hewan di kebun binatang menjadi kurus kering, dan tanaman di kebun raya juga layu karena masalah ekonomi di Venezuela

"Runtuhnya aktivitas ekonomi, hiperinflasi, dan menambah buruknya ketersediaan kebutuhan publik (layanan kesehaatan, listrik, air, transportasi, dan keamanan) begitu pula kurangnya makanan di harga subsisdi telah menimbulkan derasnya migrasi, yang memberikan efek luapan (spillover effect) ke negara-negara tetangga," tulis IMF.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya