Jakarta - Ekspresi di wajah Jafro Megawanto sulit dideskripsikan dengan kata-kata saat memastikan meraih medali emas cabor paralayang nomor ketepatan mendarat perorangan putra Asian Games 2018, Kamis (23/8/2018). Pancaran raut gembira, haru, dan lega bercampur menjadi satu.
Arena paralayang di Gunung Mas, Puncak, Bogor, Jawa Barat, menjadi saksi kerja keras Jafro akhirnya terbayar. Hasil memang tak pernah mengkhianati kerja keras.
Advertisement
Setelah lebih dari tujuh tahun menggeluti paralayang, prestasi prestisius berhasil diraihnya. Jafro menahbiskan diri menjadi atlet terbaik di Asian pada nomor ketepatan mendarat.
Menengok jauh ke belakang, Jafro mengawali perjalanannya di ajang paralayang dari titik terbawah. Setiap hari dia menyaksikan atlet-atlet paralayang beraksi di langit Batu, Malang, Jawa Timur. Rumahnya hanya berjarak 500 meter dari lokasi pendaratan di Batu.
Seperti dilansir situs Kemenpora, Jafro yang saat itu masih berusia 13 tahun mulai membangun mimpi. Dia ingin suatu saat nanti menerbangkan parasutnya sendiri.
Namun, Jafro harus menempuh jalan terjal untuk mewujudkan impiannya. Keluarganya bukan berasal dari kalangan berada. Jafro mengawali semuanya dengan menjadi tukang lipat parasut atau paraboy. Saat itu, dia hanya diupah Rp 5.000.
Dua tahun berselang, Jafro baru benar-benar memulai kiprahnya di paralayang. Dia menjalani hari-harinya dengan berlatih tekun demi menjemput impiannya.
Jafro Megawanto akhirnya bisia lulus ujian lisensi dan berhak mendapatkan PL 1 junior atau semacam SIM bagi pilot paralayang. Namun, setidaknya Jafro masih harus menjalani 40 kali terbang lagi untuk menambah jam terbang dan pengalaman.
Sempat Diminta Berhenti Latihan
Perjalannya menapaki karier di paralayang tak berjalan mulus. Bahkan, orang tua Jafro pernah memintanya untuk berhenti berlatih paralayang. Pangkal masalahnya adalah kondisi finansial.
Jafro harus naik ojek untuk berangkat latihan paralayang. Padahal, saat itu dia belum memiliki sepeda motor. Alhasil, dia terpaksa merogoh kocek untuk naik kendaraan umum. Orang tua Jafro kewalahan memenuhi kebutuhan itu.
Jafro sangat memahami kondisi pelatihnya. Namun, dia tak mau mengubur begitu saja mimpinya menjadi atlet paralayang. Dia malah semakin giat berlatih.
Prestasi demi prestasi mulai diraihnya. Di level nasional, Jafro menyumbang satu emas untuk Jawa Timur dalam PON 2016 di Jawa Barat. Kemudian setahun setelahnya, ia menjadi yang terbaik dalam Kejuaraan Nasional di Wonogiri.
Pada 2017 lalu, Jafro Megawanto bertanding kali pertama di luar negeri, tepatnya dalam ajang Paragliding Accuracy World Cup (PGAWC). Dalam ajang yang berlangsung di Kanda itu, ia keluar sebagai peringkat kedua. Saat itu ia adalah pendatang baru. Sementara lawannya adalah pilot-pilot paralayang yang sudah memiliki jam terbang tinggi.
Namun, status rookie tak lantas membuatnya minder. Justru ia buktikan kepada dunia bahwa tidak ada yang tak mungkin jika terus berusaha dan memiliki tekad yang kuat. "Ya untuk kali pertama pasti ngeri. Normal. Tapi, lama-kelamaan saya menikmati penerbangan dan akhirnya asyik juga," kata Jafro saat ditanya bagaimana suasana di atas sana bersama parasut.
Kepercayaan diri dan tekad besar juga lah yang akhirnya mengantar Jafro menapak level lebih tinggi. Jafro Megawanto kini bukan sekadar atlet paralayang biasa. Dia merupakan peraih medali emas untuk Indonesia di kancah Asian Games 2018. Selamat, Jafro!
Advertisement