Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menerbitkan persetujuan impor (PI) gula mentah (raw sugar). Izin impor gula tersebut akan diberikan kepada tujuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Direktur Jenderal Perdagang Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan mengatakan, gula tersebut akan diolah menjadi gula konsumsi dengan volume mencapai 111 ribu ton. Izin ini diperuntukkan hingga akhir tahun.
"Hampir seluruhnya akan dikeluarkan izinnya sampai Desember," ujar dia di Kantor Kemendag, Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia menjelaskan, ketujuh BUMN yang akan mendapatkan izin impor antara lain Perum Bulog melalui anak usaha PT Gendhis Multi Manis, tiga anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, PTPN XI, dan PTPN XII.
Oke menuturkan, impor ini merupakan bagian kebutuhan gula yang perlu diimpor dengan jumlah mencapai 1,1 juta ton. Oleh sebab itu, impor gula ini tidak akan mengganggu produksi gula dalam negeri.
"Ini kebutuhan impor 1,1 juta ton. Belum semua (terealisasi), tapi sudah hampor habis," ujar dia.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini
Alasan Impor Belum Tekan Harga Gula
Sebelumnya, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kebijakan terkait impor gula konsumsi harus dievaluasi. Hal ini perlu dilakukan karena tujuan dari dilakukannya impor tersebut adalah memenuhi kebutuhan gula konsumsi di dalam negeri dan juga menstabilkan harganya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Novani Karina Saputri mengatakan, kebijakan impor gula konsumsi belum mampu menurunkan harga gula konsumsi di Tanah Air.
"Harga gula konsumsi di Indonesia justru lebih tinggi daripada harga gula konsumsi di pasar internasional," kata Novani dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 22 Mei 2018.
Dia mengungkapkan, data menunjukkan harga gula konsumsi domestik cenderung naik setiap bulan. Harga gula konsumsi naik 17,5 persen dari sekitar Rp 10.599,5 per kilogram pada September 2010 menjadi Rp 12.455,3 per kilogram pada Februari 2018.
"Di mana pada akhir pengamatan, yaitu Februari 2018, harga gula konsumsi dalam negeri lebih dari tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar internasional," ujar dia.
Dia menjelaskan, salah satu upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan gula konsumsi salah satunya adalah melalui perdagangan gula internasional atau impor.
Pemerintah membuka keran impor untuk memenuhi shortage penawaran gula konsumsi dalam negeri seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Kementerian Perdagangan nomor 117 tahun 2015.
"Namun upaya pemerintah ini tidak lantas membuka perdagangan impor dengan bebas, tetapi terdapat restriksi dalam beberapa hal, seperti jumlah impor dan waktu impor yang diatur oleh pemerintah melalui rapat koordinasi antar kementerian untuk menjaga kesejahteraan produsen tebu sekaligus membuat harga gula konsumsi menjadi lebih terjangkau untuk konsumen," tutur dia.
Analisis menggunakan data sebelumnya menjelaskan pemerintah tidak mampu menentukan jumlah dan waktu yang tepat untuk melakukan impor gula konsumsi.
"Hal ini terbukti dari jumlah impor yang tidak mampu meredam gejolak harga dan waktu pelaksanaan impor yang kurang maksimal yaitu ketika harga internasional tidak berada pada titik terendah," kata dia.
Menanggapi fenomena ini, lanjutnya, diperlukan evaluasi terhadap peraturan pemerintah terkait impor gula konsumsi. Rekomendasi dari CIPS antara lain adalah penghapusan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 117 tahun 2015 pasal 3 yang menjelaskan jumlah gula yang diimpor harus sesuai dengan kebutuhan gula dalam negeri yang ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian.
"Peraturan ini memberikan batasan jumlah volume impor gula konsumsi melalui rapat koordinasi kementerian. Peraturan ini perlu dihapuskan karena terbukti bahwa mekanisme pembatasan kuota impor ini tidak mempu meredam gejolak harga di pasar gula konsumsi dalam negeri,” ujar dia.
"Sudah seharusnya pemerintah memberikan hak penentuan jumlah impor kepada pasar melalui importir yang memiliki lisensi impor. Pemerintah cukup melakukan pengawasan terhadap mekanisme impor agar berlangsung tertib dan efektif,” tambah dia.
Selanjutnya, penghapusan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117 tahun 2015 pasal 4 yang menjelaskan Impor Gula Kristal Putih (GKP) hanya dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga Gula Kristal Putih (GKP).
"Peraturan ini secara tidak langsung memberikan hak intervensi kepada pemerintah terkait waktu dilaksanakannya impor GKP. Indikator ketersediaan dan kestabilan harga GKP ditentukan oleh pemerintah melalui kementerian terkait,” ujar dia.
Novina menilai, Peraturan tersebut terbukti kurang efektif . Ini karena pemerintah tidak jarang salah menentukan waktu yang tepat untuk melakukan impor gula konsumsi yang seharusnya dilakukan ketika harga internasional murah.
"Sama halnya dengan kebijakan terkait volume, sudah seharusnya pemerintah memberikan hak penentuan waktu impor kepada pasar melalui importir yang memiliki lisensi impor," tambah dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement