6 Dukungan untuk Meiliana yang Dipenjara karena Volume Pengeras Azan

Sebuah petisi rencananya akan ditujukan kepada Presiden Jokowi, Kementerian Agama, Mahkamah Agung, dan Dewan Masjid Indonesia untuk segera membebaskan Meiliana.

oleh Maria Flora diperbarui 24 Agu 2018, 09:50 WIB
Meiliana, terdakwa kasus penodaan agama yang dipicu suara azan menangis di persidangan. (Liputan6.com/Reza Efendi)

Liputan6.com, Jakarta - Meiliana seorang ibu di Medan, Sumatera Utara mendekam di penjara karena mengeluhkan volume suara azan yang dianggap terlalu keras.

Tak tanggung-tanggung, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis hukuman 18 bulan kepada ibu rumah tangga ini. Oleh jaksa, Meiliana bahkan ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama, pada 30 Mei 2018 dan mendakwanya dengan Pasal 156 dan 156a KUHP.

Tahun 2016 menjadi awal kasus volume pengeras suara masjid di Medan mencuat ke permukaan. Karena merasa terganggu dengan pengeras suara masjid, wanita etnis Tionghoa yang beragama Buddha itu meminta kepada pengurus masjid untuk mengecilkan volumenya.

Pernyataan tersebut sontak menyulut emosi warga hingga sempat terjadi kerusuhan. Vihara dan klenteng di Tanjung Balai dibakar.

MUI Sumatera Utara kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengatakan Meiliana telah melakukan penistaan agama.

Melihat kasus ini, publik Tanah Air bersuara. Tidak hanya datang dari masyarakat umum, namun sejumlah pejabat negara hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap tak seharusnya hukuman pidana dijatuhkan karena curhat soal pengeras suara azan di masjid yang terlalu keras.

Berikut ini, bentuk keprihatinan serta dukungan masyarakat akan kasus penistaan agama yang dituduhkan pada Meiliana, wanita etnis Tionghoa di Medan:


1. Dukungan Warganet

20 Ribu Orang Tandatangani Petisi Pembebasan Meiliana (Foto: change.org)

Sebuah petisi yang telah ditandatangani oleh 20.547 netizen rencananya akan ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Kementerian Agama, Mahkamah Agung, dan Dewan Masjid Indonesia untuk segera membebaskan Meiliana.

"Bebaskan Meiliana, tegakkan toleransi!," demikian bunyi petisi tersebut.

Anita Lukito, pembuat petisi tersebut mengatakan, apa yang diperbuat Meiliana tidak bisa dikategorikan sebagai penistaan agama.

"Dia hanya meminta volume suara azan dikecilkan, itu pun tidak langsung disampaikan kepada masjidnya. Tapi dia hanya bicara kepada tetangga di sekitar rumahnya. Itu permintaan biasa yang disampaikan dengan santun," ujar dia dalam petisi.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini


2. Amnesty Internasional Indonesia

Ilustrasi Masjid (Istimewa)

Sementara itu, menurut Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, mengajukan keluhan tentang kebisingan suara seperti yang dilakukan Meiliana bukan pelanggaran pidana.

Dia bahkan menilai keputusan pengadilan hingga menjatuhkan hukuman penjara sebagai pelanggaran kebebasan berekspresi yang mencolok.

"Pengadilan tinggi di Sumatera Utara harus membalikkan ketidakadilan ini dengan membatalkan hukuman Meiliana dan memastikan pembebasannya segera tanpa syarat," pungkas Usman.


3. Wapres Jusuf Kalla

Wapres Jusuf Kalla. (Merdeka.com/Intan Umbari Prihatin)

Hukuman terhadap Meiliana dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo, pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa, 21 Agustus 2018.

Atas putusan tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berpendapat, Meiliana tidak seharusnya dipidana.

"Apa yang diprotes Ibu Meiliana itu saya tidak paham, apakah azannya atau pengajianya. Tapi tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu itu tidak seharusnya dipidana," kata JK di kantor Wapres, Jakarta, Kamis (23/8/2018).

Menurut JK, imbauan pada masjid-masjid di seluruh Tanah agar tidak memasang pengeras suara keras-keras dan terlalu lama telah berulang kali diimbau oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Bahkan seruan untuk mengajak para umat muslim datang ke masjid untuk salat harus dilakukan dengan mengaji langsung, tidak boleh pakai tape.


4. Menteri Agama Lukman Hakim

Menteri Agama Lukman Hakim memberikan keterangan hasil sidang isbat di Jakarta, Kamis (14/6). Pemerintah melalui mekanisme sidang isbat menetapkan 1 Syawal 1439 Hijriah jatuh pada Jumat 15 Juni 2018 (Liputan6.com/Johan Tallo)

Lain lagi dengan tanggapan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Dia menilai penerapan Pasal 156a UU 1/PNPS/1965 dalam kasus Ibu Meliana tak bisa berdiri sendiri. Karena harus dikaitkan dengan konteks Pasal 1 UU tersebut. Hal tersebut diungkapkannya lewat akun Twittermya, @lukmansaifuddin.

Lukman berharap para aparat penegak hukum mampu memahami esensi UU tersebut. Agar tak menjadi preseden buruk bagi kehidupan keagamaan di tengah kemajemukan bangsa.


5. Ketua Fraksi Gerindra Sodik Mujahid

Kerusuhan bernuansa SARA terjadi di Tanjungbalai, dua tahun lalu, tetapi terdakwa penistaan agama baru ditahan pada 30 Mei 2018. (Liputan6.com/Reza Efendi)

Menurutnya vonis 1 tahun 6 bulan yang menjerat ibu rumah tangga di Tanjung Balai, Medan, bukan putusan tepat. Sebab, meminta volume pengeras suara masjid dikecilkan tidak termasuk kategori penistaan agama.

Sodik menjelaskan, yang dilakukan Meiliana itu hanyalah mengeluhkan volume suara azan. Bukannya memprotes isi dalam dalam azan tersebut.

"Ini sama saja dengan protes kepada volume suara musik pada waktu yang tidak tepat. Yang diproteskan suaranya bukan melecehkan isi dan aliran musiknya," kata Sodik, Kamis (23/8/2018).

"Kaum muslim hormati jika ada tetangganya yang bukan muslim. Dan warga nonmuslim juga hargai jika hidup dalam budaya lingkungan muslim tempat tinggal dia," tambahnya.


6. PSI

Pensiunan dari TNI AU, Robert Soter Marut mendaftar jadi caleg dari PSI. (Istimewa)

Meiliana juga mendapat simpatik dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Lewat juru bicara PSI, Guntur Romli mengatakan, pihaknya setuju jika hukuman harus dijatuhkan pada mereka yang dengan sengaja menghina agama tertentu. Apalagi sampai menimbulkan permusuhan antarumat beragama.

Namun, dalam kasus Meiliana, Guntur berpandangan, wanita dari etnis Tionghoa itu tidak memiliki motif atau bukti adanya tindak penodaan agama.

"Ibu Meiliana hanya membandingkan suara pengeras suara dari masjid yang menurutnya lebih keras dari sebelumnya. Itu tentu saja bukan penghinaan atau penodaan. Mengeluhkan suara pengeras suara tidak berarti mengeluhkan suara azan," ucap Guntur.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya