Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada kuartal II 2018 mengalami kenaikan jadi 6,23 persen jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I sebesar 6,02 persen. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi ini sebagian besar masih dipicu oleh ekspor komoditas.
Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara, Ridhwan, membeberkan tiga hal penyebab ekspor komoditas masih menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama, harga komoditas yang cukup menarik namun dapat berubah sewaktu-waktu.
Baca Juga
Advertisement
Menurutnya, sebagian besar pengusaha memilih mengekspor komoditas secara langsung tanpa diolah karena sudah memiliki harga cukup tinggi. "Jadi buat industri kenapa tidak harus membuat manufaktur? Karena hanya menjual mentah saja harganya sudah tinggi," ujar Ridhwan di Hotel Four Points, Manado, Jumat (24/8/2018).
Faktor kedua penyebab komoditas menjadi pendorong ekonomi karena cenderung sulit bagi industri memperoleh pembiayaan dari perbankan. Hal ini tidak lepas dari pengaruh krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998, di mana kredit sejumlah industri mengalami penurunan.
"Kedua, industri dari sumber pembiayaan bank mengalami trauma. Karena, waktu jaya jayanya industri kita, itu begitu dia masuk ke krisis 1998 hampir 60 persen industri kolaps. Jadi hanya berbebankan sedikit sekali. Nah ini dari sisi pembiayaan bank mungkin akan sangat sulit karena mengalami problem," jelas Ridhwan.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Keterbukaan Investasi Tertinggal
Sementara itu, faktor ketiga adalah keterbukaan Indonesia terhadap investasi asing masih tertinggal apabila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di ASEAN. Dalam hal ini Indonesia masih tertinggal apabila dibandingkan dengan Vietnam yang cukup terbuka dengan investasi asing.
"Jadi tingkat keterbukaan kita, ekspor plus impor dibagi GDP, ternyata itu menurun. Berbanding terbalik dengan Vietnam, Malaysia. Dari negera lain pun tingkat keterbukaannya makin tinggi karena rupanya, argumennya bahwa policy kita selama ini menjadi pilihan sementara Vietnam itu sangat berani kan," jelasnya.
"Waktu ada tawaran dia (Vietnam) yang pertama memasukkan investor asing. Ibarat main bola, mereka itu cenderung agresif menyerang sementara kita defensif jaga dibelakang. Padahal seharusnya harus maju ke depan tidak bisa cuma duduk jaga gawang," tandas Ridhwan.
Advertisement