Liputan6.com, Caracas - Perempuan asal Venezuela ini adalah seorang balerina, ia juga pernah jadi pengusaha. Namun, perekonomian negara yang kolaps membuatnya melakoni profesi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: menjadi pekerja seks komersial atau PSK.
Hampir tiap malam, ia menjajakan diri di sebuah rumah bordil di Cucuta, Kolombia, dekat dengan perbatasan tanah airnya. Ia mendapat bayaran sekitar 100 ribu peso atau setara Rp 490 ribu untuk layanan berdurasi 15 menit.
Baca Juga
Advertisement
"Ini adalah pekerjaan yang memalukan, tapi aku tak punya pilihan," kata perempuan yang tak disebut namanya itu, seperti dikutip dari situs news.sky.com, Jumat (24/8/2018).
Ia mengaku punya dua anak yang dititipkan di rumah sang ibu."Aku harus mencari uang untuk anak-anakku, memberi makan mereka. Tak ada apapun di Venezuela."
Sementara itu di Maracaibo, kota kaya minyak yang dijuluki 'Saudi Arabia of Venezuela', warga antre membeli daging yang nyaris tak layak dikonsumsi manusia. Kulkas tak bisa diandalkan di tengah aliran listrik yang byar pet selama sembilan bulan lamanya.
Kondisi makin parah ketika kebakaran menghancurkan jaringan listrik utama yang menyuplai energi di kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu.
Penjual biasanya mencampur daging kehitaman itu dengan yang lebih segar. Pada situasi normal, daging tersebut biasanya jadi pakan anjing.
"Baunya agak sedikit anyir. Tapi mendingan jika dicuci dengan lemon dan sedikit cuka vinegar," kata Yeudis Luna, ayah tiga anak yang sibuk memotong-motong daging berwarna kehitaman di kios miliknya, seperti dikutip dari metro.co.uk.
Sejumlah pelanggan mengaku, anggota keluarganya sakit usai mengonsumsi daging yang dijual murah tersebut. Namun, apa daya, mereka tak punya pilihan.
Luna salah satunya, penjaga parkir berusia 55 tahun itu membelinya untuk dia dan tiga putranya yang berusia enam, sembilan, dan 10 tahun. Sang istri meninggalkan mereka, kabur ke Kolombia tahun lalu.
Pria itu mengaku, pertama-tama ia akan mencuci bersih daging tersebut dengan air, direndam dalam vinegar semalaman, lalu direbus dengan bumbu-bumbu yang dicampur jus yang diperas dari dua buah lemon, rajangan tomat, dan bawang setengah siung.
"Jujur, aku khawatir karena mereka masih kecil," kata dia. "Namun, untungnya, hanya si bungsu yang kena diare dan muntah-muntah."
Nyaris tak ada lagi sisa kejayaan di Maracaibo, kota pelabuhan di tepian danau yang luas, yang dulu berfungsi sebagai pusat produksi minyak Venezuela, menghasilkan kira-kira setengah produk minyak mentah nasional yang dikirim ke seluruh dunia.
Jembatan yang membentang di atas Danau Maracaibo menjadi pengingat masa lalu yang gilang-gemilang di kota yang bersih, modern, ramai, dan banyak restoran internasional di sana sini.
Saat malam tiba, jembatan sepanjang 5 mil atau 8 kilometer yang dibangun lima dekade lalu, saat Venezuela berjaya, bersinar terang oleh ribuan lampu. Tapi, itu dulu...
Mengungsi ke Negeri Tetangga
Putus asa, sejumlah warga Venezuela mencari peruntungan di negeri orang. Mauricio Aparicio, salah satunya. Ia terpaksa mengungsi ke Peru.
"Saya datang ke sini karena kemiskinan parah yang kami alami di Venezuela akibat krisis ekonomi," kata dia seperti dikutip dari situs Radio New Zealand.
"Ayahku menderita kanker perut. Tak tersedia obatnya di sana. Kalaupun ada, harganya selangit."
Ratusan orang Venezuela pergi ke Peru dengan berjalan kaki. Mereka tak punya uang untuk naik bus. Saat malam tiba, mereka tidur di pinggir-pinggir jalan, beratap langit.
Pemerintah Ekuador menyediakan sejumlah bus untuk mengangkut para pengungsi ke Peru. "Kami menuju Peru, tak ada jalan pulang. Kembali ke Venezuela sama saja bunuh diri," kata salah satu pengungsi, Maly Aviles.
Peru menjadi pilihan warga Venezuela karena proses administrasinya yang mudah, cukup dengan kartu identitas.
Namun, mulai Sabtu ini, pemerintah di Lima akan mewajibkan para pengungsi membawa paspor resmi. Dan tak mudah untuk mendapatkannya. Sejumlah orang menuding, ada mafia yang bermain di balik pengurusan dokumen keimigrasian tersebut.
Venezuela nyaris berhenti menerbitkan paspor akibat kelangkaan tinta dan kertas, ditambah dengan masalah birokratis.
Mereka yang mampu membayar biayanya masih harus merogoh uang hingga US$ 2.000 atau sekitar Rp 28 juta sebagai 'pelicin'.
Diperkirakan lebih dari dua juta orang Venezuela telah meninggalkan negaranya sejak 2014. Kebanyakan ke negeri-negeri tetangga. Mereka yang berpunya bahkan lari ke Amerika Serikat untuk mengajukan suaka.
Pada hari Kamis, Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees) Filippo Grandi mendesak Peru dan Ekuador untuk membuka pintu mereka bagi para pencari suaka.
"Untuk memberi kesempatan bagi mereka yang membutuhkan perlindungan internasional untuk mengakses keamanan dan mencari suaka," kata dia.
Menurut data PBB, sebanyak 26 ribu warga Venezuela memasuki Peru pada tahun 2017. Namun, kepala migrasi negara tersebut, Eduardo Sevilla mengatakan, jumlahnya lebih banyak yakni 400 ribu jiwa.
"Kondisi gawat terjadi di Venezuela, seakan kita sedang mengalami perang mengerikan seperti di Suriah. Bedanya, tak ada pertempuran sama sekali di sini," kata Trino Marquez, seorang sosiolog kepada Al Jazeera. "Dan ada peluang situasi akan memburuk."
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Saksikan video menarik terkait krisis Venezuela di bawah ini:
Tisu Toilet Lebih Berharga dari Uang
Setiap bulan, Alejandro Nunez mengirimkan uang sebesar 500 juta bolivar untuk keluarganya di Veenzuela.
Pria yang tinggal di Burlington, Amerika Serikat itu bukan miliarder. Uang yang ia kirimkan nyatanya hanya senilai US$ 100 atau Rp 1,4 juta.
Akibat hiperinflasi di Venezuela, harga-harga di sana terasa 'ajaib'. Misalnya seekor ayam seberat 2,4 kilogram dijual dengan harga 14 juta bolivar. Padahal, jika dikonversikan ke dalam rupiah, uang itu setara dengan Rp 32.000. (1 bolivar = 0.059).
Sementara, harga sabun meroket sampai 3,5 juta bolivar atau setara Rp 205 ribu, pun dengan harga wortel yang sempat menyentuh 300 ribu bolivar (Rp 176 ribu) per kilogram. Warga harus membawa segepok uang untuk berbelanja, meski hanya untuk segulung tisu toilet yang harganya mencapai 2,6 juta bolivar.
Atau dengan kata lain, segulung tisu toilet di Venezuela lebih berharga dari setumpuk uang.
"Orangtua saya ingin tetap tinggal di Venezuela, namun mereka dalam posisi sulit. Jadi, mereka sedang mempertimbangkan untuk menjual rumah yang sudah ditinggali selama 30 tahun dan pindah ke negara lain," kata Nunez, seperti dikutip dari Boston Herald.
Mulai Senin 20 Agustus 2018, Venezuela memberlakukan redenominasi, dengan memangkas lima nol dari setiap satuan mata uang. Duit kiriman Nunez kini bernilai sekitar 5.000 bolivar.
Langkah tersebut diambil pemerintahan yang dipimpin Presiden Nicolas Maduro untuk memperbaiki perekonomian negara, selain lewat peningkatan upah minimum dan menaikkan pajak.
"Kami punya formula yang sempurna untuk menjamin kehidupan yang yang baik bagi rakyat Venezuela," kata Maduro pada Rabu 22 Agustus 2018.
Namun, Gerald Epstein, pengajar ekonomi dari University of Massachusetts Amherst tak sepakat dengan klaim pemerintah Venezuela. Dia mengatakan, langkah-langkah tersebut sama sekali tak membantu perekonomian negara itu.
"Masalah fundamental adalah fakta bahwa ada kekurangan barang yang sangat massif di sana," kata Epstein. Ia memprediksi, bolivar versi anyar akan mengalami devaluasi seperti halnya yang lawas.
Sejumlah ahli bahkan memperkirakan, inflasi di Venezuela akan mencapai 1 juta persen.
Upaya Maduro untuk menaikkan upah minimum 3.000 persen justru diperkirakan akan menghancurkan pemilik bisnis dan memperburuk inflasi. Ibaratnya, pekerja dengan bayaran terendah di Amerika Serikat kemudian digaji lebih dari 200 dolar per jam.
Apalagi, mata uang bolivar baru, yang diklaim 'berdaulat', didasarkan pada mata uang kripto yang disebut 'petro' -- yang nilainya konon didasarkan pada nilai satu barel minyak, meskipun para pejabat pemerintah Venezuela tak menjelaskan penjelasan detil soal cara kerjanya alias masih samar-samar.
Maduro dengan bangga mengklaim bahwa kebijakan moneter barunya dibuat tanpa masukan dari para ahli.
Maduro juga mengklaim, dia dan negaranya adalah korban 'perang ekonomi' yang dilancarkan Amerika Serikat, yang menurutnya bertujuan untuk menyabotase pemerintahannya lewat pemberlakuan sanksi.
Mantan sopir bus tersebut mengatakan bahwa penggunaan petro akan menghapuskan 'tirani' dolar dan mengarah pada kebangkitan ekonomi di Venezuela -- negara anggota OPEC sekaligus di mana cadangan minyak mentah terbesar dunia berada.
Produk domestik bruto (PDB) Venezuela telah turun sekitar 45 persen sejak Maduro menjabat pada April 2013, demikian menurut Dana Moneter Internasional (IMF).
"Tidak ada pekerjaan di sini, saya tidak dapat menghidupi keluarga, membeli susu dan popok untuk bayi kami. Kami tak punya pilihan lain selain pergi," kata Alejandro Blanco, penduduk Caracas kepada Al Jazeera.
Advertisement
Kutukan 'Iblis' Minyak
Sebuah peringatan pernah disampaikan Juan Perez Alfonso, Menteri Minyak Venezuela pada 1960-an sekaligus salah satu pendiri OPEC.
"Sepuluh tahun dari sekarang, dua puluh tahun dari sekarang, kalian akan melihat, minyak akan menghancurkan kita … Minyak adalah kotoran iblis," kata dia pada tahun 1975 silam, seperti dikutip dari Forbes.
"Minyak hanya membawa masalah...Lihat semua kegilaan itu -- limbah, korupsi, konsumsi, layanan publik berantakan. Dan utang...utang yang menjerat selama bertahun-tahun."
Apa yang diucapkan Juan Perez Alfonso sejalan dengan tesis kutukan sumber daya alam (resource curse), yang dicetuskan ekonom Inggris, Richard Auty pada 1993 bahwa negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama yang tak terbarukan, misalnya minyak dan tambang, justru akan mengalami paradoks di mana pertumbuhan ekonomi justru lebih lambat dibanding negara yang sumber dayanya terbatas.
Dan saat ini, warga Venezuela yang kaya minyak dalam kondisi kelaparan.
Ellen R. Wald, Ph.D, sejarawan sekaligus konsultan energi dan geopolitik mengungkapkan, kegagalan sosialisme dan ketergantungan pemerintah yang berlebihan pada pendapatan dari satu komoditas menjadi salah satu akar permasalahan.
Pada masa lalu, Venezuela pernah membanggakan cadangan minyak dalam jumlah besar yang terpendam di bahwa bumi yang mereka pijak, ditambah dengan surplus produksi pertaniannya.
Namun, pemerintah Caracas menjadi terlalu tergantung pada pendapatan dari penjualan minyak.
Venezuela dengan pemerintahan sosialisnya kemudian justru menghancurkan kapasitas produksi pangannya sendiri dengan mengambil alih lahan pertanian dan industri terkait.
Tanpa kepemilikan privat dan meninggalkan fokus pada produksi makanan, pasokan bahan pangan pun berkurang.
Petani tak bisa memperoleh pestisida dari perusahaan kimia yang dimiliki pemerintah. Peternak tidak dapat memperoleh pakan dari pertanian. Dan, stok makanan pun berkurang drastis.
"Saat ini, dengan harga minyak yang rendah dan produksi minyak Venezuela yang tidak efisien, negara yang sejatinya begitu kaya sumber daya energi itu justru megap-megap," kata dia seperti dikutip dari Forbes.
Venezuela mengira bisa bergantung pada minyak. Ternyata itu salah.
Lantas apa yang terjadi jika harga minyak kembali melambung tinggi? Akankan Venezuela akan bangkit?
Tahanan politik Venezuela, Leopoldo Lopez berpendapat, minyak bisa jadi penyelamat bagi negaranya. Asalkan, masalah utama negara tersebut diselesaikan: mis-manajemen.
"Rekonstruksi Venezuela akan menjadi tugas yang sangat besar dan sulit. Negara ini seperti pasien ICU menghabiskan semua fungsi otot dan organ untuk bertahan hidup," kata dia seperti dikutip dari www.theatlantic.com.
"Kami tidak memiliki cadangan kas, jumlah utang yang mengejutkan, tidak punya industri yang menonjol di luar minyak, rak-rak kami kosong dan orang-orang kelaparan."